Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mas Nadiem Belum Cocok Jadi Dokter Pendidikan!

6 Juli 2020   21:03 Diperbarui: 6 Juli 2020   20:52 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendikbud Mas Nadiem. KOMPAS.com

Sudah beberapa hari berlalu sejak Mas Nadiem mengutarakan pernyataan publik tentang wacana diberlakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara permanen yang rencananya akan diterapkan seusai pandemi.

Terlepas dari bagusnya harapan itu, setidaknya Mas Nadiem telah memberikan kekagetan jilid II kepada sebagai besar pelaku pendidikan.

Beberapa bulan lalu, kekagetan pertama yang dimunculkan oleh Mas Nadiem adalah tentang fasilitas pendukung pembelajaran seperti sinyal internet dan listrik. Mas Nadiem kaget, tapi pelaku pendidikan di lapangan lebih kaget lagi karena sang Mendikbudnya baru sadar.

Secara, permasalahan pendidikan seperti keterbatasan sinyal internet dan listrik dari tahun ke tahun selalu terlihat jelas oleh siapa pun yang mau mengamati pendidikan secara langsung.

Ini masalah yang cukup akut dan setara dengan penyakit kronis yang mengakibatkan lambannya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.

Dan kali ini, kekagetan kedua yang telah Mas Nadiem hadirkan kepada masyarakat adalah rencana untuk mempermanenkan PJJ. Seusai pandemi, pembelajaran jarak jauh bisa saja jadi sebuah keniscayaan.

Dari sini tentu saja para pelaku pendidikan kembali kaget. Guru-guru kaget karena selama ini sistem PJJ belum efektif dan belum terang evaluasinya. Orangtua murid dan siswa juga kaget karena pikiran mereka semakin terbebani dengan kuota internet, sinyal, serta kebosanan.

Bahkan, pengamat dan praktisi pendidikan pun ikut merasakan kekagetan tersebut. Adalah Indra Charismiadji yang menyebutkan bahwa tindakan Mas Nadiem terhadap PJJ seiras dengan malapraktik dalam istilah kedokteran.

"Ini enggak tahu sakitnya apa, langsung semua pasien dioperasi. Konsep yang dilakukan Kemendikbud ini yang disebut one size fits all alias satu ukuran untuk semua. Ini bertentangan dengan pembelajaran daring. Sebab, seharusnya memberikan personalized/individualized learning. Artinya setiap orang mendapatkan pelayanan yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisinya," ucap Indra pada Senin (06/07/2020).

Dari tuturan Indra, terlihat jelas bahwa beliau cukup kaget dengan wacana PJJ permanen yang sempat dikeluarkan oleh Mas Nadiem beberapa hari yang lalu.

Meski begitu, ada hal yang cukup menarik dan mengherankan di sini. Setahu saya, Indra Charismiadji adalah sosok pengamat dan praktisi pendidikan spesialisasi pembelajaran abad 21 yang terus berkoar-koar tentang pemanfaatan teknologi dalam pendidikan.

Semestinya setelah Mas Nadiem mewacanakan PJJ permanen, beliau akan mendukung penuh. Tapi ini malah sebaliknya. Sang penggagas dan penuntut teknologi pendidikannya malah ikut-ikutan menyayangkan niat Mendikbud. Indra malah melayangkan kritik sekaligus meminta agar Mas Nadiem melakukan evaluasi pembelajaran daring terlebih dahulu.

Berarti, semakin ke sini semakin jelaslah sebuah realita bahwa dalam waktu dekat Indonesia belum bisa dipaksa untuk menjalankan PJJ secara permanen. Ada proses yang perlu dilalui berdasarkan konsep, dan ada pula hal-hal detail yang harus dibenahi terlebih dahulu.

Misalnya tentang layanan pendidikan di tengah pandemi. Bagaimana cara memaksimalkan pembelajaran daring, pembelajaran via TVRI/RRI, hingga pembelajaran dengan sistem modul semuanya perlu diberikan solusi.

Untuk mendapatkan solusi ini, perlu terlebih dahulu dilakukan evaluasi terhadap PJJ yang kemarin sempat dilakukan. Sedikit yang kita ketahui, sempat terdengar bahwa banyak anak-anak bosan, gara-gara kuota orangtua jadi kesusahan, dan guru pun bingung karena kurang pedoman.

Tapi, tampaknya masalah-masalah seperti ini malah dianggap sepele oleh Mas Nadiem dan Kemendikbud. Bagaimana tidak, di tengah kebutuhan pelaku pendidikan terhadap solusi nyata pembelajaran di tengah pandemi, sang Mendikbud sibuk dengan progam barunya.

Setelah sempat menggaungkan pernyataan publik tentang wacana permanenkan PJJ, Mas Nadiem pun meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar episode 5 yang berjudul Guru Penggerak. Padahal, guru-guru honorer masih butuh perhatian. PPPK pun belum jelas nasibnya.

Akhirnya, ingin rasanya penulis teriak bahwasannya gebrakan-gebrakan yang Mas Nadiem lakukan beberapa hari ini bukanlah gebrakan yang pelaku pendidikan inginkan. Maunya kita, Mas Nadiem fokus dulu terhadap perbaikan pembelajaran pendidikan di tengah pandemi.

Sajikan evaluasi dan solusi pembelajaran daring, begitu pula dengan pembelajaran luring. Kiranya jika Mas Nadiem lebih sering berbicara tentang dua hal ini, kebingungan para pelaku pendidikan akan berkurang.

Mas Nadiem Belum Cocok Menjadi Dokternya Pendidikan!

Setelah mendapatkan berbagai keraguan-keraguan kebijakan pendidikan, saya pun jadi setuju dengan kritik yang sempat dilayangkan oleh Indra Charismiadji tentang kebijakan Mas Nadiem yang terlalu dini dan terkesan malapraktik.

Terang saja, seperti halnya seorang dokter pendidikan, semestinya Mas Nadiem memahami dulu gejala-gelaja dan penyakit yang mewabah di dunia pendidikan hari ini. Seperti kata Indra, tidak bisa semua pasien pendidikan langsung dioperasi semua tanpa tahu apa sakitnya.

Maka dari itulah Indra menyebutkan istilah malapraktik. Mas Nadiem belum sering turun ke lapangan, belum sering praktik pendidikan, tapi langsung main "suntik-suntik" kebijakan saja. Bukankah ini cukup meresahkan?

Ilustrasi dokter. Gambar oleh Darko Stojanovic dari Pixabay 
Ilustrasi dokter. Gambar oleh Darko Stojanovic dari Pixabay 

Jadi, Mas Nadiem saat ini belum cocok jadi dokter pendidikan. Pendidikan kita sesungguhnya telah sakit, kemudian muncul tindakan malpraktik berupa kebijakan yang tidak tepat sasaran, makin sakitlah pendidikan kita!

Dari sini, ada satu hal mendasar yang sebenarnya sangat-sangat kita sayangkan. Ya, seperti halnya profesi dokter, seseorang yang ingin menjadi dokter terlebih dahulu harus kuliah di bidang kedokteran dan memiliki ijazah dokter.

Tapi, Mas Nadiem tidak begitu. Seorang Mendikbud, namun belum memiliki sematan sebagai praktisi pendidikan, pengamat pendidikan, atau pun ahli di bidang pendidikan. Perihal ini sesungguhnya sangat disayangkan.

Saat ini, apa mau dikata. Mas Nadiem sudah menjabat sebagai Mendikbud alias dokternya pendidikan. Lagi-lagi kita ingin menggantungkan harapan besar kemajuan pendidikan di pundak beliau. Tentu, kemajuan ini tak bisa didapat dengan cara "malapraktik."

Jika di hari esok muncul lagi kebijakan yang dinilai malapraktik dan terlalu dini tanpa ada kajian lebih lanjut, maka bisa jadi inilah alamat bencana bagi dunia pendidikan kita.

Bahkan, terkait dengan wacana PJJ yang sudah saya utarakan tadi, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidkan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji sampai menilai bahwa kebijakan tersebut akan melahirkan kebodohan di depan mata.

"PJJ dipaksa untuk dipermanenkan akan membuat mutu pendidikan menurun dan bencana kebodohan di depan mata. Bonus demografi pun hanya akan jadi bencana bagi Indonesia karena generasi mudanya banyak yang bodoh akibat sistem pendidikan yang salah," ucap Ubaid, Senin (06/07/2020).

Cukup miris sebenarnya ketika kita mendengar pernyataan yang diungkapkan Ubaid. Apa lagi beliau menyandingkan PJJ dengan mutu dan bencana pendidikan, berarti akan ada guncangan yang luar biasa andai kebijakan mempermanenkan PJJ diimplementasikan.

Kita tentu tidak mau guncangan ini malah semakin menyakiti dunia pendidikan di bumi Pertiwi. Andai pun ada ketidaksamaan makna PJJ, tetap saja akan muncul masalah di kemudian hari.

Maka dari itulah kegiatan mematangkan konsep, tindakan kaji ulang, evaluasi penemuan gejala penyakit pendidikan di lapangan, hingga komunikasi semuanya menjadi sangat penting. Begitulah semestinya peran dokter pendidikan yang diharapkan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun