Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kebijakan Kampus Merdeka, Beda Jalan Sarjana Pekerja dengan Sarjana Pemikir

26 Januari 2020   16:36 Diperbarui: 27 Januari 2020   09:57 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya pertemuan di kelas dalam tiga bulan maksimal hanya lima atau enam kali saja. Bahkan, rekan-rekan guru lainnya hanya dapat jam magang masuk kelas dua sampai tiga kali saja. Pengalaman yang didapat malah lebih banyak cerita dengan guru-guru di sekolah.

Padahal, bagusnya magang itu minimal satu semester penuh dari mulai merakit administrasi pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, hingga evaluasi pembelajaran.

Agaknya profesi politeknik, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu humaniora lainnya juga demikan. Opsi magang bisa menjadi tolok ukur kompetensi di bangku kuliah, sudah sampai mana. Teori saja tidak cukup, calon sarjana butuh waktu turun gunung lebih lama di lapangan agar cepat matang.

Mereka juga tidak akan mau lama-lama menganggur jikalau sudah tamat. Magang adalah kesempatan menampakkan personal branding sebagai calon sarjana pekerja agar segera laku di pasar kerja.

Meski demikian, bukan berarti calon sarjana pemikir, analis, serta ilmu-ilmu tidak perlu magang. Mereka tetap perlu magang, namun tiada pula mesti menghabiskan hingga 40 SKS jam kegiatan.

Magang beberapa bulan penting untuk melatih mental calon sarjana. Mental di kampus walaupun hebat, belum tentu menular hingga ke lapangan. Butuh latihan, butuh adaptasi, dan butuh pengalaman.

Kadang, tantangan di dunia kerja datangnya suka tiba-tiba dan masalah yang menimpa juga tak terduga. Di sini mental sarjana pekerja maupun pemikir akan diuji, sosok problem solver yang dulunya sudah matang di bangku kuliah juga akan diminta bukti. Ini adalah bentuk dari revolusi.

Kita tidak lupa dengan tuntunan revolusi 4.0 yang mengakibatkan standar kompetensi dan skill naik gunung. Dan kita tidak lupa juga bahwa sosok Mas Nadiem adalah mantan aktor dari industri itu sendiri.

Namun, lagi-lagi pendidikan tinggi dengan sekelumit aspeknya tidak bisa menggunakan sistem kejar tayang. Hal-hal urgen seperti kurikulum, dosen, sistem informasi, administrasi serta inovasi di setiap unit pendidikan harus ikut diajak berlari.

Kebijakan Nadiem ini sifatnya opsional sehingga mahasiswa bisa memilih sendiri arah dan jalan mereka untuk mengembangkan kompetensi di luar program studi.

Entah itu cita-cita menjadi sarjana pekerja maupun sarjana pemikir, karakter harus tetap digaungkan. Perguruan tinggi kiranya dapat memfasilitasi, mengarahkan dan mengevaluasi agar pendidikan tinggi tidak stagnan dan tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun