Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Pintar dan Lemah Diperhatikan, Kalau yang "Biasa Saja"?

22 Oktober 2019   23:04 Diperbarui: 24 Oktober 2019   07:52 1171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melakukan pendekataan dan perhatian personal kepada siswa. (Dokumentasi pribadi)

Banyak yang memuji karena prestasi, tapi sedikit yang memberi pujian atas proses dan lelah. Entah pujian itu datang dari orangtua, dari sesama anak, bahkan sebagian guru semuanya meninggikan prestasi. Darinya, tergolonglah tiga tipe anak. Anak yang pintar, anak yang biasa-biasa saja, dan anak yang lemah.

Apalagi sudah masuk di lingkungan sekolah. Prestasi seringkali dikait-kaitkan dengan ranking. Entah itu juara kelas, juara umum, ataupun juara olimpiade berbasis akademik. Bagaimana dengan Olahraga? Keagamaan?

Rasanya jika siswa yang berprestasi di bidang olahraga maupun keagamaan tetapi tidak dapat ranking di kelas, mereka juga kurang diperhatikan.

Agaknya, hal inilah yang menjadi salah satu dampak negatif dari sistem ranking di sekolah. Orangtua yang merasa anaknya lemah akan menasihati anak agar di semester depan duduk sebangku dengan teman yang dapat ranking 5 besar saja.

Anak-anak mereka mungkin mau, tetapi bukan itu yang mereka tuju. Makin dekat dengan teman yang pintar, makin mudah mencontek. Hoho

Anak-anak pintar seakan menjadi primadona. Apalagi jika mereka juara kelas, ganteng, cantik, berbudi pekerti luhur, dan ramah. Bahkan, emak-emak kantin pun menyukai mereka dan tidak jarang anak pintar dapat jatah gorengan gratis. Hehe.

Lalu bagaimana nasib anak-anak yang tergolong biasa saja? Lagi-lagi mereka kurang mendapat perhatian. Jika anak pintar belajar, anak biasa juga belajar. Jika anak lemah malas belajar, anak biasa tetap belajar.

Anak biasa cuma kalah ranking. Banyak pula dari mereka yang bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan guru, tetapi mereka hanya kalah cepat dengan anak pintar. Anak biasa juga baik, berbudi pekerti luhur, ramah, ganteng dan cantik. Mereka hanya kalah eksistensi saja.

Dan sayangnya, anak yang biasa-biasa saja cenderung susah melekat di pikiran guru. Jikapun hari ini ingat maka besoknya lupa, terus seperti itu. Agaknya kehadiran mereka kurang berkesan. Di hadapan anak pintar mereka kalah silau, di hadapan anak lemah mereka kalah gelap.

Anak lemah beda lagi. Anak lemah tapi ribut mudah untuk dikenal, anak lemah sekaligus pendiam mudah dikenal, apalagi anak lemah yang sering membuat kerusuhan di kelas!

Jika dibandingkan dengan anak lemah, maka anak biasa "masa bodoh" saja. Pikiran yang melayang di benak mereka hanyalah:

"Setidaknya aku tidak remedial, dan semoga aku naik kelas!"

Baik anak lemah maupun anak biasa tentu ingin segera mencapai prestasi. Apalagi bagi anak yang biasa-biasa saja. Mereka mungkin iri jika tiap kali lihat nilai teman 100, 98, 95, sedangkan nilai mereka hanya 60-75.

Kalau anak lemah rasanya hanya sebagian yang iri. Bahkan, mereka malah mentertawai nilai mereka sendiri dan menganggapnya "masa bodoh" juga. Iri ada, tapi keirian itu segera sirna oleh kemalasan.

Belajar Bukan Sekadar Memetik Hasilnya

Kalau saja pandangan tentang penggolongan anak berdasarkan ranking dapat diubah, maka meninggikan pemaknaan belajar adalah salah satu opsi terbaik. Terang saja, pemaknaan belajar berdasarkan hasil akhir seringkali membuat orang lupa dengan proses.

Yang cepat mencapai hasil akan terpuji, yang "asal" sampai hasil akan aman, dan yang belum mencapai hasil akan terhina.

Darinya, timbullah pemaknaan belajar adalah sebuah persaingan atau kompetisi. Mirisnya, sebuah kompetisi ada yang mengejar secara sehat, adapula yang bertindak dengan curang. Ujung-ujungnya lari ke mencontek saat ulangan, menyembunyikan buku/catatan kecil di dalam kantong baju, hingga mempelajari isyarat huruf abjad dengan main mata untuk menyelesaikan soal pilihan ganda.

Apa yang mereka kejar?

Tentu saja hasilnya. Bukan hanya anak lemah, bukan juga anak biasa, melainkan banyak anak-anak ranking yang menempuh jalan curang untuk meraih prestasi. Entah itu keinginan mereka pribadi, tekanan orangtua atau sekadar ingin tidak mau kalah saing, yang bisa menjelaskan adalah orangtua mereka.

Jujur saja, ajaran mencontek juga berasal dari orangtua. Biasanya hal ini berawal dari ketidakmampuan orangtua dalam membantu anaknya menyelesaikan tugas dari guru. Akhirnya, mulailah orangtua berpesan agar "besok pergi pagi-pagi di sekolah nak, tanya sama si X, kan dia ranking 1!"

Apa yang dilakukan anak? Segelintir kecil yang mau bertanya dan menunjukkan bagaimana proses atau jalan penyelesaian dari tugas itu. Yang lain? Karena keburu, maka mereka memilih untuk mencontek, bahkan dengan cara memaksa.

Walau demikian, masih banyak pula orangtua yang "mengharamkan" anaknya untuk mencontek. Jika anak tidak tahu cara menyelesaikan tugas, berikut dengan orangtuanya, biasanya orangtua akan meminta anaknya untuk bermain ke rumah teman yang ranking sembari minta ajar.

Inilah bagian krusial dari belajar. Jika tidak tahu maka belajar untuk tahu, bukan belajar untuk mencontek dan mencuri pengetahuan orang lain.

Hargai Prosesnya dan Objektif Memberi Perhatian

Perlu kembali ditekankan bahwa sejatinya makna terdalam dari belajar adalah menghargai proses. Memang benar bahwa dengan melihat perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang, kita bisa menebak seseorang itu sudah belajar atau belum, sudah ada peningkatan atau belum.

Namun, lagi-lagi belajar tidaklah sesederhana itu. Ada hal abstrak yang perlu kita maknai dalam belajar, dan itu adalah proses belajar. Bagaimana proses belajar seorang anak hingga ia mendapat nilai 100 patut untuk kita ikuti.

Bukan semata-mata meragukan, hanya saja untuk meluruskan mereka sedari awal. Jika nilai 100 tadi adalah hasil dari usaha sendiri, berarti anak sudah menghargai, memaknai, dan menjalankan proses dalam belajar.

Tapi jika nilai 100 itu adalah curian, maka mesti diluruskan sedari dini bahwa itu bukanlah bentuk dari belajar. Sembari itu, perlulah ditekankan kembali bagaimana pentingnya berada "di jalan yang lurus" dalam mendapatkan hasil.

Ini penting karena akan menjadi bekal hidup anak untuk kedepannya. Tidak hanya untuk anak lemah, tidak juga hanya untuk anak-anak yang pintar.

Anak lemah memang harus mendapat perhatian personal lebih, agar mereka segera taubat. Anak pintar juga perlu perhatian lebih, agar mereka istiqomah, rendah hati, dan jauh dari kemalasan meskipun tingkat perhatiannya tidak sama dengan anak lemah.

Anak biasa-biasa saja juga mesti mendapat perhatian. Jangan mentang-mentang karena nilai mereka sudah mencapai KKM hingga perhatiannya disamakan dengan anak-anak pintar.

Memang banyak anak yang pintar di sekolah, sukses di masa depan. Begitu pula dengan anak yang lemah, banyak dari mereka yang menemukan jati dirinya dan segera berbenah. Tapi perlu diingat bahwa di sekeliling mereka banyak pula anak yang biasa-biasa saja, dan anak-anak ini juga sukses.

Itulah pentingnya belajar sebagai proses dan mengajar sebagai proses. Dalam mengajar, guru dan orangtua tidak perlu menuntut anak untuk pintar. Mereka hanya perlu membuat anak-anak mencintai, menghargai, dan memaknai proses belajar.

Pintar? Itu bukan tuntutan, bukan pula paksaan melainkan sebuah harapan. Ada peran hidayah Tuhan di sana. Itu berkat usaha anak, keikhlasan guru, dan doa-doa dari orangtua.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun