Mohon tunggu...
Salimun Abenanza
Salimun Abenanza Mohon Tunggu... Administrasi - di sini maka di sana

seorang anak dari negeri beruang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Belajar Fotografi, Prostitusi, dan Selfie dari Film "Born into Brothels"

15 Juni 2016   19:36 Diperbarui: 15 Juni 2016   20:06 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://kumulus.ca/photographie/born-into-brothels/

Setelah sahur mata ini tidak bisa tidur lalu saya iseng mencari film tentang perjalanan di Netflix dan akhirnya saya bertemu dengan film ajaib ini. Mungkin sebagian pembaca sudah menontonnya, judulnya Born into Brothels (karena baca judulnya cepat-cepat saya kira itu brother atau broth(kuah) eh ternyata setelah dicari di kamus artinya rumah bordil). Saya bertanya-tanya apakah film ini menceritakan kehidupan sosial atau punya setting roman di lingkungan rumah bordil. Ternyata film ini adalah sebuah documentary film yang mendokumentasikan perjalanan sekelompok anak yang hidup di lingkungan prostitusi padat dan kumuh di sebuah wilayah merah Kalkuta, India. Kelas fotografi tersebut diasuh oleh fotografer Zana Briski dan Ross Kauffman.

Awal dimulai dan seterusnya film ini setahap demi setahap menggugah pikiran dan rasa. Bagaimana anak-anak yang diberi kamera dan menemukan keajaiban dalam mengabadikan sebuah detik dalam berbagai situasi. Bapak-bapak yang marah, seorang anak yang dirantai, ibu-ibu menuang air, teman yang habis menjemur pakaian, dan banyak inspirasi yang mereka lahirkan dari kamera berfilm negative. Mereka belajar untuk menilai mana foto yang bagus dan mengemukakan pendapat. Mereka memancarkan bakat secara alami dan foto-foto mereka menyampaikan banyak hal. Mereka pergi ke pantai dan memfoto hal-hal artistik di sana. Foto-foto anak-anak ini akhirnya ditayangkan dan masuk dalam beberapa pameran. Bahkan Avijit, salah satu dari mereka berhasil menghadiri sebuah pertemuan fotografer anak-anak tingkat dunia di Amsterdam.

                                                                                    sumber: http://kumulus.ca/photographie/born-into-brothels/

                                                                                      

Film ini juga menceritakan bagaimana perjuangan sang dokumenter untuk membawa mereka ‘keluar’ dari lingkungan prostitusi India yang padat dan penuh dinding hambatan. Saya membayangkan betapa ribetnya mengurus sekelompok dokumen anak-anak untuk melanjutkan sekolah sampai harus pergi tes HIV untuk syarat sekolah. (saya jadi ingat perjuangan lain di film “Not One Less” tentang seorang guru yang berjuang menemukan satu muridnya yang hilang).

Refleksi:

Sayangnya banyak kamera di tangan anak-anak hari ini mungkin jauh lebih canggih dari film di atas tapi tak begitu banyak ide dan ekspresi yang tercetak di sana. Sayangnya lagi fenomena selfie cenderung memaksakan muka untuk diakui sebagai keindahan.

Dari film ini saya bercermin jika sebuah bakat dari siapa-pun didapati sejak dini, diapresiasi dan dilatih akan menghasilkan fokus yang hebat. Sayang bakat anak yang ada terkadang diselimuti obsesi orang tua, hambatan finansial, ataupun situasi yang membuat individu kehilangan nikmat yang unik ini.

Sekali lagi film mengajarkan rasa syukur terhadap apa yang menjalar dalam darah dan udara hari ini. Film ini juga mengajarkan bagaimana memanfaatkan momen-momen berharga agar menjadi lebih mahal dan bernilai. Anak-anak yang menjadi tokoh utama memotret banyak hal menarik dengan riang gembira tanpa harus memikirkan berapa like yang bakal hadir dalam posting-an mereka.

Terakhir dari film ini sebuah pesan yang disampaikan adalah kesamaan derajat. Bakat tak meminta latar belakang sebagai sebuah syarat agar ia hadir dalam hidup seseorang. Begitu juga pendidikan yang seharusnya dapat diakses oleh siapa saja. Terkadang latar belakang menjadi penjara di berbagai negara untuk berbakat dan terdidik.

Surprise:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun