Tapi Ada yang Tak Terduga --- Peran CEO Ternyata Krusial
Nah, di sinilah bagian menariknya. Ternyata, efek positif ESG terhadap stabilitas keuangan bisa kuat atau lemah tergantung karakter CEO-nya.
Para peneliti menemukan tiga faktor utama yang membuat perbedaan besar:
1. Kompensasi CEO
CEO yang menerima kompensasi berbasis jangka panjang --- seperti saham atau bonus berbasis kinerja berkelanjutan --- cenderung lebih fokus pada stabilitas perusahaan. Mereka tidak tergoda untuk mengejar keuntungan sesaat, dan justru memperkuat efek positif ESG. Dengan kata lain, gaji yang "benar" bisa membuat ESG bekerja lebih efektif.
2. Rasa Percaya Diri Berlebihan (Overconfidence)
Sebaliknya, CEO yang terlalu percaya diri justru bisa membawa bencana kecil. Mereka sering mengambil keputusan gegabah, merasa selalu benar, dan cenderung mengabaikan risiko. Efeknya? ESG jadi formalitas belaka --- terlihat bagus di laporan tahunan, tapi tidak terasa dampaknya di dunia nyata.
3. Koneksi Politik
Koneksi politik juga punya dua sisi. Di satu sisi, hubungan baik dengan pemerintah bisa membuka akses sumber daya dan dukungan kebijakan. Tapi di sisi lain, perusahaan bisa terlalu bergantung pada regulasi, bukan inovasi. Efek ESG pun jadi lemah karena motivasinya lebih pada kepentingan politik, bukan keberlanjutan sejati.
Hasil penelitian ini memberikan pelajaran penting:
ESG memang berperan besar dalam memperkuat ketahanan finansial perusahaan, tapi keberhasilannya tidak otomatis. Ia sangat tergantung pada karakter dan orientasi pemimpinnya. Perusahaan yang dipimpin oleh CEO dengan visi jangka panjang dan integritas tinggi akan lebih mudah menjadikan ESG sebagai kekuatan strategis. Namun, jika keputusan diambil dengan ego, overconfidence, atau kepentingan politik, ESG hanya menjadi label tanpa makna.