Di sekolah umum, di mana siswa bercampur aduk, maka seperti yang pernah dilakukan saat bulan Ramadan, penyesuaian menu untuk siswa Muslim (misalnya, mengganti makanan berat dengan makanan ringan/takjil) menunjukkan bahwa penyesuaian menu sangat mungkin dilakukan.
Penyelenggara MBG juga perlu melibatkan komunitas dan sekolah. Salah satunya dengan  mendorong Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur yang ditunjuk untuk memberdayakan ibu-ibu rumah tangga lokal atau BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dalam menyiapkan makanan. Keterlibatan ini bisa memicu ide menu rumahan yang lebih akrab di lidah murid.
Tak kalah penting, perlunya melakukan survei sederhana kepada murid tentang jenis makanan atau olahan yang mereka sukai (tentunya dengan batasan gizi dan anggaran).
Di sisi lain, pihak sekolah dapat menjalin komunikasi rutin dengan dapur penyedia (SPPG) untuk menyampaikan feedback dari murid dan orang tua, termasuk soal kebosanan menu.
Secara berkala perlu pula diadakan sesi edukasi di sekolah tentang pentingnya gizi dari berbagai jenis makanan, sehingga murid lebih termotivasi untuk mencoba menu baru.
Terakhir, presentasi makanan dalam wadah MBG perlu menarik. Petugas di dapur umum MBG perlu untuk memperhatikan penyajian makanan agar terlihat menarik dan mengundang selera. Makanan yang sama bisa terasa berbeda jika disajikan dengan lebih rapi atau dalam bentuk yang berbeda.
Intinya, solusi untuk mengatasi kebosanan adalah variasi yang dikelola dengan baik, komunikasi antara sekolah, dapur, dan murid, serta pemanfaatan sumber daya lokal Tana Toraja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI