Mohon tunggu...
Nur Fhaila Shofa
Nur Fhaila Shofa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jangan menjadi orang sombong

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tolak Politisasi SARA pada Pemilu 2024

10 Juli 2023   11:30 Diperbarui: 10 Juli 2023   20:38 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik-Agama-Pemilu.png

Pertanyaan yang diajukan harus menjadi faktor terpenting menurut psikologi orang Indonesia karena mereka sangat tertarik membahas suku, agama, ras, dan adat istiadat. Percakapan ini terkadang lebih penting daripada

Kemiskinan dan pendidikan. Survei memungkinkan kami untuk mengetahui topik mana yang paling potensial dan dari mana materi kampanye berasal. Selama masa kampanye pemilihan, orang sangat penting karena strategi yang berbeda digunakan untuk mendekatinya.

Politisi sering menggunakan pendekatan akar rumput dalam politik SARA untuk menarik perhatian masyarakat. Karena butuh emosi dan harganya murah. Isu SARA berulang kali diungkit oleh tokoh-tokoh politik untuk dianggap benar, sehingga memecah belah masyarakat. Umumnya partai politik dan politisi melakukan kampanye konvensional menjelang pemilu.

Dengan cara ini, isu SARA menarik emosi masyarakat kemudian dipopulerkan melalui televisi, radio, surat kabar, buku, spanduk dan website. Langkah ini sebenarnya cukup mahal dan tidak efisien. Karena iklan TV 30 detik saja bisa mencapai puluhan atau ratusan juta kantong. Namun, menurut pakar periklanan Ipang Wahid, sekitar 56 persen masyarakat Indonesia masih menonton TV. Khusus untuk penggemar Sinetron. Paket data internet tidak diperlukan untuk TV yang diperingkat.

Kecepatan pemilihan umum (pemilu) juga dapat dijadikan cerminan akan pentingnya toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artinya saling menghormati dan menghargai pemikiran dan gagasan para calon pemilih tanpa saling merendahkan. Politisasi SARA tidak bisa ditolerir, oleh karena itu pemilu 2024 yang berkualitas dan damai harus ditentang dengan tegas.

Politisasi SARA terjadi akibat manipulasi elit politik. Sebaliknya, elit politik seharusnya hanya melayani kepentingan negara dan bukan kepentingan politik yang memperebutkan kekuasaan dalam menjalankan tugasnya. Padahal, elit politik juga termasuk rakyat. Yang membedakannya dengan orang lain adalah peran antara penguasa dan yang dikuasai.

Dinamika lima tahunan adalah pemilu di mana partai, calon presiden, dan calon wakil presiden harus bersaing secara atletis dan sehat, menyampaikan ide dan gagasan terbaik hanya untuk memajukan kedaulatan negara dan rakyat. Kemudian orang hanya perlu menggunakan hati nurani mereka untuk memutuskan siapa yang akan dipilih. Juga, jangan mencampuradukkan urusan SARA dengan urusan politik demi kepentingan politik bangsa dan negara. Ini tidak mudah. Pemilu harus diselenggarakan secara kualitatif, menghindari politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan situasi antar pendukung pasangan calon terus memanas.

Politisasi SARA dapat menjadi kendala di kancah politik, seperti permasalahan horizontal antar pendukung pasangan calon, gangguan keamanan, kurangnya persiapan penyelenggara pemilu dan kurangnya netralitas penyelenggara pemilu. Konflik-konflik tersebut dapat mengakibatkan pemilih mengambil keputusan bukan atas dasar hati nurani, melainkan atas dasar kesamaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dengan demikian, penolakan terhadap politisasi Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) digalakkan dan disosialisasikan agar Pemilu 2024 dapat diakses oleh seluruh masyarakat dengan harapan pemilu berlangsung aman dan damai tanpa menimbulkan kerusuhan di tengah masyarakat. Pendukung berasal dari organisasi. Pasangan Presiden dan Cawarres.

Menurut Herwyn JH Malonda, anggota Badan Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu), politisasi identitas merupakan hal yang sangat berbahaya dalam penyelenggaraan pemilu. Bagaimana tidak, pasal yang diawali dengan praktik politik identitas, berpotensi menghadirkan kekerasan dan agitasi berbasis SARA di tengah masyarakat, termasuk berpotensi memecah belah bangsa.

Selain itu, jika persoalan dan praktik politisasi SARA di masyarakat terus berlanjut, maka akan terjadi pula penolakan terhadap calon tertentu, meski dengan kedok latar belakang identitasnya, seperti ras, suku, atau agama. Jadi jelas ini akan memperlemah demokratisasi Indonesia.

Meski harus dalam surat suara, setiap pemimpin atau calon yang mencalonkan diri harus mampu menegaskan diri dengan mengedepankan gagasan atau visi dan visi misinya, termasuk program-program yang mereka tawarkan ke pelelangan publik. Dengan semua itu, publik nantinya bisa memilah dan memutuskan calon pemimpin mana yang dianggap layak dan layak untuk memimpin Indonesia ke depan, namun secara keseluruhan pertimbangan seleksi atau penolakan hanyalah gagasan dan tidak didasarkan pada latar belakang identitas calon tertentu. Pemimpin. Potensi Pemimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun