Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Kamar Sepi Bersama Suster Yuni

31 Oktober 2017   16:58 Diperbarui: 31 Oktober 2017   17:02 6698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.vnbmagazine.com

Kisah sebelumnya : Jejak Arak

"Pak...! Pak...!!"

Suara lembut suster muda manis menggoyang bahu tangan kiriku yang sedang tertidur pulas. Kupingku lamat-lamat mendengarnya. Sedikit aku terhenyak. Aku memicingkan mata ke arah suara itu berasal. Kulihat wajah suster itu. Ada kesegaran di wajahnya yang mungil. Sehabis cuci muka. Dia tersenyum mencoba ramah. Ia berdiri di bed di sebelah kiri. Tercium lembut wangi parfum yang dipakainya.

"Selamat pagi, Mbak Suster....." Aku terbangun lalu segera aku melihat bordiran bingkai biru yang terjahit di pakaian di dadanya sebelah kanan. Namanya singkat. "Yuni!" Aku mencoba ramah sedikit ada rasa kesal, karena ia mengganggu tidurku yang pulas. Situasi kamar masih sepi. Detak jam dinding pun terdengar.

Dia tersenyum lagi. Manis. Sejanak kupandang wajahnya, segera kulihat hapeku. Jam 04.32 pagi. Aku menggerakkan badanku.

Aku memang selalu tidur menyamping kanan sehingga tangan kiriku di atas, tangan kananku kupakai sebagai bantal. Suster Yuni membiarkan aku sebentar agar tersadar penuh. Otakku mulai bekerja. Hari ini adalah hari Selasa tanggal sebelas bulan Juli tahun duaribu tujuh belas. Aku ingat aku terbaring berada di rumah sakit di kota kelahiranku.

"Maaf Pak, saya mau melakukan test EKG dan mengukur tensi!" Suster Yuni menjelaskan maksud membangunkan aku di jam shubuh ini. Tanpa menunggu jawabanku ia mempersiapkan peralatan tensi, lalu ia meraih tangan kiriku perlahan. Ia membebatkan alat tensi itu di lengan kiriku bagian atas. Setelah terpasang dengan benar, ia memompanya sehingga mencengkeram kuat lenganku. Tak lupa ia taruh stetoskop di di siku depan yang terbebat kain pengikat tensi. Sesekali ia memompanya. Aku diam saja sambil memperhatikan ia bekerja. Sesekali aku memandang wajahnya yang segar dan manis.

"Berapa, Mbak?" tanyaku sambil mencoba tersenyum. Aku yakin wajahku kusut . Rambutku yang mulai panjang pasti awut-awutan. Tidur membuat wajah berantakan, walaupun kesegaran badan didapatkan.

"100/70. Normal, Pak" Ia menjawab sambil melepaskan alat tensi itu.

"Alhamdulillah" sahutku.

Kemudian ia berkata setengah memerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun