Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Hapus: "Pemerintah" karena Diktator

19 September 2011   02:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:50 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Segala sesuatu bermula dari pikiran. Pikiran diungkapkan melalui bahasa. Bahasa yang terucap atau tertulis kembali masuk pikiran dan mempengaruhi atau bahkan menentukan tindakan. Dengan kata lain segala tindakan manusia ditentukan dan berasal dari pikiran yang diungkapkan melalui bahasa. Maka pikiran, perkataan, dan perbuatan adalah sebuah kesatuan. Kalau ketiga hal ini tidak menjadi kesatuan maka orang tersebut sedang tidak jujur.

Dengan kenyataan di atas maka saya membuat sebuah usulan reformasi Indonesia yang bermula dari reformasi bahasa yaitu bahasa Indonesia. Sementara ini ada setidaknya tiga kata yang harus ditata ulang dalam bahasa Indonesia. Kalau kita mengacu pada asumsi bahwa bahasa membentuk pemikiran dan sikap yang kemudian menentukan tindakan seseorang maka setidaknya tiga kata ini telah merusak kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita. Ketiga kata atau frasa yang harus dimaknai ulang atau bahkan dihapus dari perbendaharaan kata Bahasa Indonesia tersebut adalah PEMERINTAH, UANG NEGARA atau MERUGIKAN NEGARA, dan TOLERANSI.

Kata pertama yang harus direformasi adalah kata "pemerintah". Mengapa kata ini? Karena kata ini telah menimbulkan ketimpangan hubungan antara penyelenggara negara dan rakyat yang telah menyerahkan kewenangan mereka kepada penyelenggara negara sebagai wakilnya, atau bahkan sebagai pelayannya. Namun karena pemakaian terminologi yang salah maka hubungan inipun menjadi salah. Bukankah kata “pemerintah” artinya sama dengan “dictator”?

"Pemerintah" adalah kata benda yang berasal dari kata benda "perintah". Kata kerjanya adalah "memerintah" yang berarti "memberi perintah". Kata "perintah" mendapat awalan "pe" maka menjadi "pemerintah", awalan "pe" dalam proses afiksasi ini berarti atau bermakna "orang yang pekerjaannya me- atau tukang me-". Di sinilah menurut saya letak kekeliruan pemakaian kata "pemerintah" untuk menyebut pengelola negara. Pemakaian kata atau pembahasaan inilah yang menyebabkan pola pikir dan perilaku pejabat pemerintah. Mulai dari pejabat terendah sampai yang tertinggi, mereka menjadi subjek yang memberi perintah, dan rakyat menjadi objek yang diperintah. Pola hubungan ini menimbulkan kesewenang-wenangan dari subjek terhadap objek karena hubungan ini tidak setara.

Perlu diadakan penelitian etimologis tentang sejarah kemunculan kata "pemerintah". Namun saya menduga kata ini diadopsi untuk memaknai pengelola negara karena pengaruh sistem kerajaan yang feodal dan juga pengaruh dari sistem administrasi pemerintah kolonial Belanda. Pada tata kelola negara kerajaan yang bersifat feodal, raja adalah pemilik negara yang meminjamkan tanahnya kepada para adipati atau bupati dan kemudian para tuan tanah atau penguasa lokal ini meminjamkan tanahnya kepada rakyat. Maka bisa dipahami bahwa pemilik mempunyai segala hak dan rakyat sebagai peminjam hanya mempunyai semua kewajiban tanpa hak. Demikian pula yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan dimana VOC membayar sewa tanah dan pekerja di tanah tersebut yang tak lain adalah rakyat. Belanda mempunyai hak untuk memerintah sehingga disebut "pemerintah".

Sesudah 66 tahun merdeka dengan pergantian sejumlah enam presiden keadaan hubungan rakyat dan pengelola negara masih sama dengan sebelum kemerdekaankarena mentalitas dan pola pikir yang masih sama dikarenakan pemakaian istilah yang salah. Pengelola negara masih disebut sebagai "pemerintah". Konotasi dari istilah ini adalah memberikan hak sepenuhnya untuk "memerintah" sehingga rakyat harus tunduk dan menjalankan perintah. Penguasa menjadi merasa memiliki negara beserta rakyat yang ada didalamnya seperti pada masa kerajaan atau jaman kolonial Belanda. Sudah saatnya kata ini dihapus dari perbendaharaan kata Bahasa Indonesia, dihilangkan atau ditandai sebagai kata yang sudah kadaluwarsa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Saya mengusulkan dipakai kata "Pengelola Negara" atau "Pemangku Negara" untuk mengganti istilah "pemerintah". Kedua kata yang saya usulkan tersebut memiliki siratan positif karena mengandung makna rasa tanggungjawab, perwalian dan perwakilan, dan tidak mengandung arti yang tidak setara. Reformasi bahasa yang pada gilirannya akan mereformasi pikiran, dan selanjutnya mereformasi tindakan saya yakin bisa menjadi kenyataan. Hal ini akan terjadi apabila semua pemakaibahasa, masyarakat luas, media massa, pejabat, semua departemen "pemerintah" melakukan reformasi bahasa yang sederhana ini. Perlahan senantiasa pola pikir akan berubah dan perilaku akan berubah. (bagian pertama dari tulisan bersambung mengenai reformasi bahasa)

-------------------------

Sumber gambar: http://www.peopleofcolororganize.com/analysis/aint-mubarak-7-worst-dictators-america-backs/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun