Sejarah adalah cerminan kolektif bangsa yang harus dilindungi dan dilestarikan karena hal itu yang membentuk kehidupan manusia di hari ini. Namun bagaimana jika yang terjadi sejarah itu rusak, bukan karena waktu tetapi karena tangan kekuasaan yang mencoba menghapus sebagian bayangan di dalamnya? Kontroversi terbaru yang melibatkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam upaya penulisan ulang sejarah memunculkan pertanyaan besar: apakah sejarah masih menjadi milik rakyat, atau telah menjadi alat narasi penguasa?
Sejarah sebagai memori kolektif
Sejarah tidak sekadar menyusun peristiwa secara kronologis, melainkan mengandung makna yang jauh lebih dalam ia adalah memori kolektif bangsa. Konsep memori kolektif mengacu pada ingatan bersama yang dibentuk, diwariskan, dan dipelihara oleh suatu komunitas atau masyarakat untuk memahami masa lalu mereka secara bersama-sama. Ingatan ini hidup dalam narasi nasional, peringatan hari besar, buku pelajaran, museum, hingga cerita orang tua kepada anaknya. Filsuf Prancis Maurice Halbwachs, yang memperkenalkan istilah mmoire collective, menjelaskan bahwa ingatan kolektif tidak hidup secara individual, melainkan dibentuk dalam konteks sosial. Artinya, apa yang dikenang oleh suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh institusi sosial seperti keluarga, pendidikan, agama, dan negara yang memilah mana yang dianggap penting untuk dikenang dan mana yang diabaikan.Sejarah sebagai memori kolektif memiliki fungsi penting:
- Menjadi pengingat akan ketidakadilan dan trauma, agar tidak terulang di masa depan.
- Membangun identitas nasional, dengan mengenali nilai-nilai dan perjuangan yang membentuk negara.
- Menjadi dasar pembelajaran, untuk menciptakan masyarakat yang kritis dan sadar akan proses perubahan sosial.
Kontroversial Penulisan ulang sejarah
Pada Mei 2025, Menteri Kebudayaan yakni Fadli Zon mengumumkan akan melakukan penulisan ulang sejarah Nasional, hal ini dilakukan untuk menciptakan narasi Indonesia yang lebih Indonesia-sentris bukan kolonial sentris. Selain itu Fadli Zon ingin menciptakan sejarah indonesia yang lebih memiliki nuansa tone-positif dan menghindari diksi-diksi lama seperti "orde lama", "orde baru" dan lainnya karena dianggap terlalu politis. Namun banyak publik melihat bahwa hal ini justru akan mengaburkan batas-batas penting dalam sejarah politik indonesia.Â
Selain itu salah satu kontroversial yang menjadi sorotan dari penulisan ulang sejarah ini adalah terkait upaya menteri kebudayaan fadli untuk menghapus istilah "pemerkosaan massal" dalam peristiwa mei 1998 karena ia menganggap hal tersebut belum terbukti secara ilmiah dan diverifikasi. Pernyataan ini kemudian menimbulkan kritik keras dalam beberapa pihak salah satunya adalah anggota DPR yakni Bonnie Triyana (PDIP) dan Mercy Barends menyatakan bahwa pernyataan tersebut menyakitkan dan mengabaikan laporan resmi dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang mencatat setidaknya 52 kasus kekerasan seksual. Hal ini disampaikan dalam rapat paripurna komisi X DPR-RI.Â
Kontroversial lainnya adalah Fadli menyatakan bahwa istilah seperti "Orde Lama" adalah ciptaan Orde Baru dan tidak netral secara sejarah. Ia menyarankan agar penulisan ulang sejarah menghindari diksi tersebut untuk menciptakan narasi sejarah yang lebih "bersatu" dan tidak memihak.Pernyataan ini kembali menuai protes dari akademisi dan publik. Mereka menyebut bahwa istilah "Orde Lama" sudah menjadi bagian dari historiografi yang digunakan luas dalam kajian politik Indonesia. Menghapusnya justru akan menimbulkan kebingungan baru dalam membaca sejarah republik. Namun dari pihak kementerian menyatakan akan terus melanjutkan proses ini yang mereka perkirakan akan selesai dalam bulan (hingga Agustus 2025), dan dikerjakan oleh sekitar 100 akademisi dari 34 perguruan tinggi. Ia menegaskan bahwa sejarah akan ditulis berdasarkan dokumen resmi dan riset akademik. Namun, hingga saat itu belum ada keterlibatan publik, organisasi masyarakat sipil, atau korban pelanggaran HAM berat dalam proyek tersebut. Tidak ada konsultasi terbuka atau transparansi soal siapa saja penulisnya dan pendekatan metodologinya. Hingga kini sejumlah forum akademik mulai mengkritik proyek ini secara terbuka. Organisasi masyarakat sipil, pengamat HAM, dan kelompok penyintas mendesak agar proyek dihentikan, atau minimal dibuka untuk uji publik.
Apakah Sejarah Milik Penguasa : Analisis Teori Hegemoni Gramsci
Dari kejadian kontroversial ini mengingatkan kita pada salah satu teori dalam ilmu politik yakni teori hegemoni budaya yang dikembangkan oleh pemikir Marxis asal Italia, Antonio Gramsci (1891--1937). Gramsci tidak hanya berbicara soal kekuasaan dalam bentuk paksaan (coercion), tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan mempertahankan dominasinya lewat pembentukan kesadaran dan persetujuan masyarakat (consent) melalui institusi-institusi budaya dan ideologi.
Bagi Gramsci, kelas penguasa mampu mempertahankan kuasanya dalam jangka panjang justru karena berhasil membentuk kesadaran kolektif masyarakat lewat institusi seperti sekolah, media, dan dalam kasus ini penulisan sejarah. Ia menyebut ini sebagai bentuk dari "dominasi intelektual dan moral" (direzione intellettuale e morale) atas masyarakat.Ketika Fadli Zon menyusun ulang sejarah dengan tone "positif", menghapus istilah penting seperti "Orde Lama", dan meragukan tragedi seperti pemerkosaan massal 1998, maka proyek ini berisiko menjadi bentuk hegemonisasi sejarah. Ia bukan lagi upaya ilmiah, melainkan strategi pembentukan konsensus demi mempertahankan legitimasi politik. Gramsci juga memperkenalkan konsep blok historis, yakni perpaduan antara basis ekonomi, struktur kekuasaan, dan narasi ideologis yang menopang suatu rezim. Dalam konteks Fadli Zon, proyek penulisan ulang sejarah dapat dipahami sebagai upaya membentuk "blok historis baru" di mana legitimasi rezim pasca reformasi dibangun dengan merekonstruksi narasi masa lalu agar selaras dengan agenda kekuasaan saat.