Aduh mak, membaca berita mengenai "dokter busuk", membuat diri ini merinding. Apa nggak merinding? Â Lah, kabar duka beberapa hari lalu belum pupus ketika ada dokter yang tewas dalam kerusuhan di Wamena. Ini sudah ada istilah "dokter busuk" pula.
Bagi mereka yang keluarganya dokter, suami atau istrinya dokter dipastikan tersengat dengan pernyataan "dokter busuk". Bagi yang sempat menikmati PTT di daerah tertinggal dan terpencil maka sengatannya akan lebih menyakitkan lagi.
Pengalaman mereka sungguh suatu yang tak akan pernah bisa terulang lagi. Hanya bisa diceritakan pada anak dan cucu. Ndak ada jaringan telepon apalagi sinyal telepon. Kalau malam menjelang maka yang ada adalah beristirahat ditemani jangkrik ataupun kodok. Tidak ada tempat nongkrong, untuk sekedar melepas penat.
Andai ada pasien darurat malam hari maka lampu teplok menjadi penerang kalau lampu petromak kehabisan minyak tanah atau kaos lampunya rusak. Keterbatasan obat dan sarana penunjang membuat dokter, perawat dan bidan harus berimprovisasi menyelamatkan nyawa orang.

Kenapa harus menyebut dengan dokter busuk di Medsos? Kenapa tidak langsung sebut saja namanya. Selain itu bisa dicoba dulu ke manajemen rumah sakit kalau perawatan di rumah sakit.Â
Keluh kesah bisa disampaikan kalau dirasa pelayanan dokternya kurang baik atau tidak sesuai dengan prosedur pelayanan ataupun penanganan kesehatan. Kalau menyebut nama dan melapor langsung ke IDI justru lebih elegan.
Dokter busuk. Ah. Semoga saja tidak begitu. Kalaupun dituduh mata duitan hanya mencari uang saja, tidak juga. Semua ada standarnya. Biaya-biaya setiap rumah sakit berbeda, apalagi kalau kelas yang dipilih pasien juga termasuk yang terbaik.Â
Contoh bayaran dokter bedah pasien kelas tiga berbeda loh  bila dibandingkan bayaran yang diterima dokter bedah yang melakukan tindakan medis pada pasien kelas satu apalagi VIP.
Banyak juga kok cerita dokter-dokter yang mengabdikan dirinya untuk kemanusian. Dokter yang mengabdikan dirinya untuk daerah-daerah terpencil. Meninggalkan angannya sekolah spesialis, meninggalkan mimpinya hidup berkecukupan.
Aku masih percaya dengan keahlian dokter Indonesia. Aku masih percaya dokter Indonesia lebih besar pengabdiannya dibandingkan soal duit.
Sekolah dokter umum itu susah. Butuh daya tahan baik mental pikiran dan juga ekonomi termasuk fisik. Belum lagi menghadapi senior-seniornya. Sekolah spesialis apalagi. Kesulitannya lebih lagi. Apalagi S3 kedokteran dan mengambil sekolah konsultan kesulitannya lebih lebih lagi.
Belum lagi ujian-ujian secara berkala yang harus mereka lakukan untuk meningkatkan skill mereka. Seminar dan pertemuan ilmiah untuk terus meningkatkan pengetahuannya baik di dalam maupun di luar negeri. Semua itu bayar.
Mereka ini adalah orang-orang yang menihilkan kesalahan sekecil apapun karena berkaitan dengan nyawa manusia. Tidak ada dokter yang mau membuat kesalahan dalam tindakannya. Mereka berusaha untuk menyembuhkan pasiennya.
Kalau ada yang menulis di Medsos "dokter busuk". Maafkanlah. Kalaupun dokter Indonesia dibandingkan dengan dokter tetangga, maafkanlah sekali lagi. Anggap saja orang tersebut mencari  second opinion. Semoga juga second opinion yang didapat lebih bagus dan orang tersebut disembuhkan dari penyakitnya.
Dokter busuk.  Ah  itu seperti teman saya yang rezekinya dari kotoran, buangan pasien.
Dokter busuk.  Ah  itu seperti teman saya yang rezekinya di IGD membuat orang bisa kentut karena sakit maag.
Dokter busuk.  Ah  itu seperti teman saya yang melihat bagian-bagian tubuh yang sakit yang terkadang malah sudah membusuk.
Dokter busuk.  Ah  itu dokter forensik yang terkadang harus mengotopsi tubuh yang sudah membusuk untuk mengungkap kebenaran.
Jadi kalau ada orang menjuluki rekan sejawat dengan dokter busuk, dituliskan di Medsos tanggapilah dengan baik. Tanggapilah dengan elegan.
Kalau ada dokter busuk tentunya ada juga dokter wangi. Nanti saja nulis dokter wangi karena si dokter ini pernah membeli minyak wangi cukup mahal tetapi tak menyangka ketika berpadu dengan feromonnya malah menjadi bau asap. Bukan asap Karhutla yang pasti.
Salam dari puncak Bukit Barisan Sumatra.
Salam Kompal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI