Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mantan, Dokter, dan Guru: Lelucon yang Merusak Akal Sehat

2 Agustus 2025   04:01 Diperbarui: 2 Agustus 2025   04:43 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokter-Pasien, Guru-Murid (Dokumentasi Pribadi

Di tengah arus deras media sosial, kita disuguhkan beragam konten lucu yang dengan cepat menjadi viral, sekilas tampak menghibur, namun diam-diam menyimpan racun. TikTok, YouTube Shorts, dan platform sejenis dipenuhi adegan-adegan satir yang memancing tawa, seperti kisah guru yang memberikan nilai nol pada anak dari mantan kekasihnya, atau dokter yang menyarankan operasi pengangkatan jantung kepada pasien yang ternyata mantannya sendiri. Konten semacam ini laris, dibagikan ribuan kali, ditertawakan berjamaah, seolah tidak ada yang salah. Padahal, di balik lelucon itu, tersembunyi pesan yang menyudutkan, tidak adil, bahkan mengabaikan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan profesionalisme. Ketika seorang guru digambarkan menyalahgunakan kekuasaan karena dendam pribadi, atau dokter bertindak sinis tanpa empati, apa yang sedang diajarkan pada penonton muda? Mereka yang belum memiliki daya kritis mudah menyerap gambaran palsu ini sebagai sesuatu yang lumrah, bahkan benar. Di sinilah letak bahaya paling nyata: tawa yang menyesatkan. Esai ini bertujuan untuk menyoroti bahaya konten hiburan semacam itu melalui dua contoh konkret, guru dan anak mantan, serta dokter dan pasien mantan, untuk mengurai bagaimana lelucon yang tampaknya remeh justru dapat merusak nalar sehat, memperkuat relativisme moral, dan membentuk cara berpikir yang membenarkan ketidakadilan, alih-alih mengoreksinya.

Fenomena Humor Viral dan Bahayanya

Dua konten viral yang banyak beredar di TikTok dan YouTube menyajikan humor yang, jika dicermati, justru mengikis kepekaan etis. Pertama, video seorang guru yang memberi nilai nol kepada murid hanya karena anak tersebut merupakan buah hati dari mantan kekasihnya, padahal jawaban si murid benar. Kedua, video seorang dokter yang merespons keluhan mantannya bukan dengan diagnosis medis yang profesional, melainkan dengan sarkasme: "Operasi pengangkatan jantung. Kalau tidak mau, mati saja di rumah." Kedua konten ini sama-sama mengedepankan dendam pribadi yang dibungkus dalam lelucon, dan justru ditertawakan oleh banyak orang.

Humor semacam ini, bila dikonsumsi tanpa kesadaran kritis, dapat menormalisasi ketidakadilan. Penonton diajak menertawakan tindakan yang, pada dasarnya, melanggar prinsip moral dan profesionalitas. Guru menjadi simbol kekuasaan yang membalas dendam melalui pendidikan; dokter menjadi simbol perawatan yang berubah menjadi penghinaan. Alih-alih menjadi cermin untuk mengkritik realitas sosial, humor ini justru memperkuat stigma dan membentuk opini keliru terhadap profesi guru dan tenaga medis, dua pilar penting dalam kehidupan publik.

Lebih jauh, bagi penonton muda, anak-anak dan remaja yang masih membentuk kepribadian, konten semacam ini berisiko menjadi contoh perilaku. Gaya bercanda yang sinis, membalas dendam lewat otoritas, atau mempermalukan orang lain bisa dengan mudah ditiru dan dianggap wajar. Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death (1985) mengatakan, ketika hiburan menjadi cara utama kita memahami dunia, maka yang lucu bisa menggantikan yang benar, dan yang menghibur bisa mengaburkan yang etis. Dalam konteks ini, tawa tidak lagi membebaskan, melainkan membutakan.

Ketika generasi muda lebih dulu belajar tertawa di atas kesalahan moral daripada memahami nilai kebenaran dan keadilan, maka yang rusak bukan hanya selera humor kita, tetapi juga dasar-dasar akal sehat bersama.

Hiburan yang Tidak Netral

Di balik tawa yang ditimbulkan oleh sebuah lelucon, sesungguhnya tersembunyi nilai-nilai yang sedang ditanamkan, disadari atau tidak. Dalam kasus konten humor yang menampilkan guru yang menghukum murid karena dendam pribadi, atau dokter yang merendahkan pasien dengan kekerasan verbal, kita sedang berhadapan dengan hiburan yang tidak netral. Lelucon semacam ini bukan sekadar lucu; ia membawa pesan moral, dan sayangnya, pesan itu cenderung menyimpang. Ketika tindakan tidak adil dijadikan bahan tertawaan, maka batas antara benar dan salah mulai kabur. Yang keliru bukan hanya perbuatannya, tetapi juga tawa yang menyertainya.

Secara moral, ini menimbulkan kekacauan nilai. Kekerasan verbal, penyalahgunaan kuasa, hingga tindakan merendahkan martabat orang lain, jika disampaikan dalam format humor, dapat diterima tanpa perlawanan batin. Lelucon seperti ini tidak netral karena ia membentuk pola pikir dan memengaruhi cara pandang penontonnya, khususnya generasi muda. Nilai-nilai moral seperti keadilan, kasih, dan empati pelan-pelan digantikan oleh relativisme: segala sesuatu bisa dianggap benar atau wajar asal menghibur. Inilah yang dikritik oleh Alasdair MacIntyre, dalam After Virtue (1981), bahwa ketika masyarakat kehilangan kerangka moral objektif, maka yang hanya tersisa adalah pilihan-pilihan subyektif yang didasarkan pada selera dan preferensi belaka.

Relativisme semacam ini sangat berbahaya. Ia menciptakan ruang di mana tindakan tidak etis bisa dibenarkan, selama dikemas dengan cara yang lucu atau populer. Standar etika pun bergeser. Pendidikan dan kemanusiaan, yang mestinya menjadi fondasi dalam segala bentuk ekspresi publik, justru dikompromikan demi hiburan. Padahal, seperti ditekankan oleh Martha C. Nussbaum dalam Cultivating Humanity (1997), pendidikan seharusnya membentuk warga dunia yang berani berpikir kritis dan menghargai martabat sesama, bukan menertawakan penderitaan atau menyudutkan yang lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun