Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mantan, Dokter, dan Guru: Lelucon yang Merusak Akal Sehat

2 Agustus 2025   04:01 Diperbarui: 2 Agustus 2025   04:43 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokter-Pasien, Guru-Murid (Dokumentasi Pribadi

Dengan demikian, hiburan tidak bisa dianggap bebas nilai. Ia selalu berpihak, dan dalam banyak kasus hari ini, hiburan yang semestinya membebaskan justru menjadi alat pembentuk ketidakpekaan moral. Maka, penting bagi kita sebagai masyarakat, terutama pendidik, orang tua, dan pembuat konten, untuk tidak sekadar tertawa, tetapi juga bertanya: apa yang sedang ditanamkan lewat tawa itu?

Fungsi Humor yang Sehat

Humor yang sejati tidak hanya membuat orang tertawa, tetapi juga menggugah kesadaran dan memperluas cakrawala berpikir. Dalam perspektif etika, humor seharusnya memiliki fungsi emansipatoris: membebaskan dari ketakutan, tekanan sosial, bahkan dari belenggu pemikiran yang kaku. Inilah yang disebut oleh filsuf Prancis Henri Bergson dalam Laughter: An Essay on the Meaning of the Comic (1911) sebagai "koreksi sosial" melalui tawa, bukan tawa untuk mempermalukan, tetapi tawa untuk menyadarkan.

Humor yang sehat adalah humor yang berani, tetapi tidak kejam. Ia menyentil tanpa menyakiti, mengkritik tanpa merendahkan. Fungsi utamanya adalah untuk membangkitkan refleksi, membongkar absurditas dalam masyarakat, dan mendorong empati. Lelucon yang membebaskan akan menertawakan sistem yang menindas, bukan menertawakan mereka yang tertindas. Ia mengolok-olok kemunafikan, bukan kesulitan orang lain.

Contoh humor yang cerdas dan mendidik dapat ditemukan dalam berbagai bentuk satire sosial. Acara seperti "Indonesia Lawak Klub" yang sempat tayang di TVOne, meskipun sederhana dalam kemasan, kerap menghadirkan sindiran terhadap kebijakan publik atau tokoh-tokoh berpengaruh dengan cara yang jenaka namun tidak menghina. Di ranah internasional, program seperti "The Daily Show" (Jon Stewart, Trevor Noah) atau "Last Week Tonight with John Oliver" menggunakan pendekatan humor untuk membongkar isu-isu serius seperti rasisme, kesenjangan ekonomi, hingga manipulasi media, dengan tetap mempertahankan tanggung jawab moral atas apa yang mereka tampilkan.

Dalam konteks pendidikan, humor bahkan digunakan sebagai alat pedagogis. Penelitian oleh Paul E. McGhee (Understanding and Promoting the Development of Children's Humor, 2002) menunjukkan bahwa humor yang mendidik dapat meningkatkan motivasi belajar dan memperkuat hubungan antara guru dan murid. Namun, humor semacam ini mensyaratkan sensitivitas etis dan kecerdasan emosional, dua hal yang absen dalam konten-konten viral yang mengandalkan dendam dan penghinaan sebagai sumber tawa.

Di sini, kita perlu membedakan mana humor yang membangun kesadaran dan mana yang justru menumpulkan nurani. Humor bukan musuh pendidikan, justru bisa menjadi sekutu terkuatnya, selama ia diarahkan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan melecehkannya.

Akhirnya, humor bukan sekadar alat hiburan atau lucu-lucuan; ia memiliki daya yang jauh lebih besar: membentuk cara berpikir, membentuk budaya, bahkan membentuk moral publik. Ketika humor menyasar pada dendam, kekuasaan, atau penghinaan terhadap yang lemah, ia tidak lagi lucu, melainkan menjadi alat pembenaran terhadap ketidakadilan. Karena itu, penonton, terutama anak muda, perlu dibekali literasi digital dan etika media yang kuat agar tidak sekadar tertawa, tetapi juga mampu membedakan mana tawa yang menyadarkan dan mana yang menyesatkan. Di sisi lain, para kreator konten dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam meramu humor, bukan semata untuk menghibur, tetapi juga untuk membangun nilai dan empati. Sebab pada akhirnya, "Tertawa itu sehat, tapi jika kita tertawa di atas nilai yang hancur, siapa yang sebenarnya sedang sakit?"

Merauke, 02 Agustus 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun