Satu hal yang membuatku bergidik ketika ada anak sekolah yang memesan jamu "anak sehat" malah diberi gratis. Bahkan didoakan, "sekolahnya yang bener yo le. Biar dadi anak pintar dan bisa bantu adik-adikmu".
Usut punya usut ternyata anak itu anak yatim. Dhuaaarrrrr. Apa nggak bikin senewen otakku dan rasaku. Seorang mbok jamu sudah memberi kesehatan juga mendoakan anak yatim.
"Kadang aku terima, kadang aku tolak duitnya. Main perasaan wae. Sudahlah to Pak E. Hidup itu hanya numpang. Aku sudah dua puluh tahun jualan jamu. Aku yo masih kuat nggendong bakul jamu. Syukur Alhamdulillah Gusti Allah," katanya.
Ada dua anak SD minta diantarkan ke sekolahan pada mamang ojek. Salah satu anak memberikan uang dua ribu. Botilah alias bonceng tigalah mereka. Sungguh bikin dada ini bergemuruh.
Dalam hati ini diri bersyukur. Masih ada orang baik. Masih banyak malah. Mereka tidak beretorika. Mereka malah melaksanakan langsung. Diri ini dapat belajar keimanan langsung dari kehidupan.
Tidak pakai teori. Tidak pakai barter, aku dapat apa. Tidak sok kuasa. Tidak pamer.
Ibu-ibu penjual kue dan minuman menggunakan plastik assoy itu berjalan kaki menjajakan dagangannya. Mbok jamu juga berjalan kaki menjajakan jamunya. Mamang ojek, salam satu aspal. Mereka berbagi. Mereka mengais rezeki di bumi. Mereka percaya pada pembagian rezeki Sing Gawe Urip.
Mamang ojek bergerak mengantarkan mimpi generasi muda. Terima duit dua ribu perak dan mengantarkan ke sekolah. Tak mengeluh apalagi menyalahkan pemimpin. Kok diri tidak dapat  Public  Service  Obligation (PSO)  subsidi padahal sudah mengantarkan anak sekolah?
Mereka semua bergerak. Mereka semua ada di serpihan surga di punggung Bukit Barisan Sumatra. Nun, jauh dari ibu kota Provinsi Sumatra Selatan. Enam sampai tujuh jam perjalanan darat.
Apa nggak jungkir balik rezeki? Apa nggak jungkir balik itu teori ekonomi?
Lalu bagaimana dengan hukum ekonomi dalam pembukaan tulisan ini?