Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sembilu Memotong Hati

4 November 2017   08:32 Diperbarui: 4 November 2017   08:52 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tubuh sang penari menguap. Miliaran serpihan yang kemudian menjadi uap membumbung ke  angkasa. Mata ku cuma bisa terpana. Apakah ini transporter sesungguhnya ataukah hanya permainan efek computer generated imagery (CGI).

Akupun terpana. Kakiku terpaku. Ototku lemas luunglai. Kamera yang kubawa hampir terjatuh. Reflek tubuhku menyandarkan diri ke pagar dermaga. Aku terduduk lemas.

***

Akankah hal ini berulang? Dua puluh lima tahunan lalu, aku dan penari pernah bertemu dalam suasana yang berbeda. Kami bertemu dalam lomba karya tulis ilmiah di sebuah universitas di kawasan yang dingin dan sejuk. Kami pada waktu itu bersaing.

Dia menjadi menara yang  mengagumkan. Jalannya yang bak peragawati membuatnya menjadi perhatian. Apalagi senyumnya. Sayangnya kulitnya yang terlihat putih seperti tak dialiri darah sehingga cenderung pucat.

Memang tim kami dan timnya tak menang. Pemenangnya adalah tim yang lebih dikenal dengan yellow jacket untuk IPA dan green jacket untuk IPS.

Menjelang pulang ada acara makan malam bersama sekaligus menjadi malam perpisahan seluruh peserta lomba karya tulis ilmiah IPA dan IPS yang datang dari hampir seluruh perguruan tinggi negeri. Pihak panitia sejak siang sudah mengumumkan kalau ada mahasiswa yang ingin menyumbangkan lagu ataupun tarian pada kegiatan malam akan diakomodir. Panitia akan berusaha untuk menyiapkan segala kebutuhan.

Malam itu setelah mendengarkan lagu Chrisye Hip-Hip Hura yang dibawakan oleh mahasiswa yang dikenal sebagai universitas yang menguasai lautan di zamannya. Tiba-tiba perempuan yang kulitnya seperti tak dialiri darah muncul dengan pakaian tarinya. Aku tahu karena namanya disebutkan oleh pembawa acara.

Si menara itu membawakan tariannya dengan gemulai. Jemarinya lentik. Bibir tipisnya yang disaput oleh pemerah bibit merah merona. Senyumnya. Matanya. Sempurna.

Dirinya agak sedikit sombong ketika berkenalan di istirahat makan siang tadi. Aku bilang dirinya, zombie karena kesal dengan gaya sombongnya. "Kau akan menyesal nantinya pada zombie ini," katanya tanpa menyebutkan nama ketika aku sudah terlebih dulu menyebut namaku.

Tepukan tangan ditujukan pada si menara ketika usai membawakan tarian tradisional. Yup, si menara sudah menyita perhatian hampir semua pasang mata lelaki. Apalagi pundaknya yang tak tertutup sehelai benang pun membuatnya makin menggugah mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun