Mohon tunggu...
OSTI  LAMANEPA
OSTI LAMANEPA Mohon Tunggu... Mahasiswa - DEO GRATIA (RAHMAT ALLAH)

MAHASISWA FILSAFAT DAN TEOLOGI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan Seksual pada Perempuan

18 Mei 2021   21:40 Diperbarui: 18 Mei 2021   21:54 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    (Tinjauan dari Perspektif Rm 6:12-13 Tentang Pengudusan)

    Oleh: Osti Lamanepa, Mahasiswa Fisafat dan Teologi Widya Sasana Malang

I. Pendahuluan

Dewasa ini kita mendengar dari berita majalah maupun televisi bahwa kejahatan kekerasan seksual yang dialami kaum perempuan semakin hari semakin meningkat. Kekerasan seksual perempuan adalah penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekerasan seksual termasuk dalam ruang lingkup pelecehan seksual, yaitu segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehinga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi, perbuatan seperti main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga perkosaan. Kekerasan seksual pada perempuan ini merupakan tindakan yang tidak terpuji yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.

II. Latar Belakang

Fokus tulisan ini adalah membahas tentang kekerasan seksual pada perempuan dari perspektif Rm 6:12-13 tentang pengudusan. Penulis menaruh minat dalam tema ini karena dilatarbelakangi oleh maraknya isu-isu kekerasan seksual pada perempuan. Disini penulis membahas tema kekerasan pada perempuan ini ditinjau dari perspektif Surat Rasul Paulus kepada Jemat di Roma 6:12-13. Penulis ingin melihat secara baru perspektif Rm 6:12-13 yang berbicara tentang pengudusan dengan tema kekerasan seksual pada perempuan. Pada bagian pertama penulis memaparkan tema yang terkait yakni garis besar kekerasan seksual pada perempuan. Pada bagian kedua penulis memaparkan tanggapan dari pesan Rasul Paulus terhadap tema yang terkait yakni kekerasan seksual pada perempuan (Analisis Eksegese dari Rm 6:12-13). Pada bagian ketiga penulis menampilkan relevansi dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma ini dengan tema yang terkait

III. Pembahasan

3.1. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (Gender Based Violence)

Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah terhadap hal-hal yang berdasar pada perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Bentuk kekerasan seksual atau bentuk kekerasan lain yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan tak lain merupakan bentuk ekspresi maskulinitasnya dalam relasi atau interaksinya dengan perempuan[1]. Sebagian laki-laki menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan merupakan bentuk kemampuan dalam mendominasi dan mengendalikan orang lain. Menurut Michael Kaufman seorang aktivis di Kanada yang memimpin kampanye "Pita Putih", mengungkapkan faktor-faktor di balik kekerasan terhadap perempuan, dengan merujuk kepada apa yang ia sebut sebagai malapetaka (kekuasan yang dimiliki oleh laki-laki menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri) dan amunisi di dalamnya. Sedikitnya ada tiga faktor berkaitan yang merupakan amunisi laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan dan otoritasnya, yaitu (a) kekuasaan patriarki (patriarki power), (b) hak-hak istimewa (privilege), (c) sikap yang permisif (permission). Dari sini nampak jelas bahwa kekuasaan patriarki menjadi pemicu utama dibalik diskriminasi atau kekerasan terhdap perempuan. Point pertama dalam budaya patriarki, terjadi subordinasi dan kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan serta dominasi. Budaya patriarki diperkuat melalui institusi baik sosial maupun politik. Negara juga ikut andil dalam pelegalan budaya ini, sebagai contoh nampak dalam undang-undang perkawinan yang melegalkan pernikahan poligami sekalipun dengan syarat tertentu. Poin kedua, yaitu hak-hak istimewa (privilege), sebagai contohnya adalah hak-hak istimewa dimiliki oleh laki-laki sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, mereka bebas bermain di luar rumah, jenis permainan pun berbeda dan cenderung ekstrem, jika anak laki-laki bisa sekolah sampai ke luar negeri. Dalam ranah publik misalnya, setelah mereka berkeluarga, rapat RT dan rapat lain dalam menentukan kebijakan desa sarat didominasi laki-laki, sekalipun kepala rumah tangganya adalah seorang perempuan (Ibu). 

 

Sikap permisif (membolehkan) tindakan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan yang biasanya dianggap wajar dalam masyarakat. Contoh sederhana, pemukulan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya masih dianggap persoalan privat bagi masyarakat tertentu, dan itu dianggap lazim manakala terjadi perselisihan atau pertengkaran dalam rumah tangga. pKekerasan terhadap perempuan senantiasa langgeng terjadi sebab perempuan dengan tubuhnya yang khas dipahami sebagai makhluk sekunder, objek, dapat diperlakukan seenakknya dan dapat menjadi hak milik. Dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, kita dapat melihat beberapa faktor yang mendasari tindakan tersebut, antara lain: a) Karakteristik fisik dan reproduksinya perempuan memang lebih mudah menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, seperti perkosaan atau penghamilan paksa; b) Dalam relasinya dengan laki-laki, pemaknaan sosial dari perbedaan biologis tersebut menyebabkan memantapnya mitos, streotipe, aturan, praktik yang  merendahkan perempuan dan memudahkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga dan relasi personal, bisa pula di tempat kerja atau melalui praktik-praktik budaya; c) Dari sisi ekonomi, perempuan dapat dijadikan sarana pengeruk keuntungan, sehingga merebaklah pelacuran, perdagangan perempuan (woman trafficking), atau pornografi; d) Kekerasan terhadap perempuan sekaligus dapat digunakan sebagai sarana terror, penghinaan, atau ajakan perang pada kelompok lain. Kesucian perempuan dilihat sebagai kehormatan masyarakat, sehingga penghinaan atau perusakan kesucian perempuan akan dipahami sebagai penghinaan terhadap masyarakat. Lalu apakah kekerasan terhadap perempuan dapat dihentikan? Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan bagaimana keadilan dalam masyarakat ditegakkan. Keadilan terhadap perempuan akan sulit ditegakkan jika budaya patriarki masih berlaku dalam segala aspek kehidupan dalam masyarakat.. Sekalipun  dalam konferensi HAM PBB di WINA (1993) mengeluarkan deklarasi dan program aksi yang menegaskan dua butir penting berikut: a) Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta penghapusan dan diskriminasi berdasar jenis kelamin, merupakan tujuan utama masyarakat sedunia; b) Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya, tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia, serta harus dihapuskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun