Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stigma Orang Batak : Pasangan Hidup

29 Januari 2016   17:09 Diperbarui: 29 Januari 2016   17:27 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pengantin Batak (wordpress)"][/caption]Berhubung ini hari jumat dan saya sudah tidak sabar menunggu akhir pekan, saya ingin membagi sebuah cerita yang sebenarnya agak “ngeri-ngeri sedap” untuk dibahas (mengkopi bahasa Bang Sutan Bathoegana :D). Sebuah cerita satir mengenai stigma, stereotip sebuah suku bernama suku Batak, yang disandur dari kisah nyata. Berhubung saya sudah menyaksikan film terbaru Quentin Tarantino, berjudul The Hateful Eight di bioskop yang paling dekat dengan domisili saya (Yang mana film ini sangat bagus dan seperti biasa khas Tarantino yang penuh satir dan black comedy), saya terinspirasi untuk menulis cerita ini  seperti gaya Tarantino.

Chapter 1 – Stigma Orang Batak

Stigma orang Batak tidak jauh dari suku lainnya, terutama bila bicara soal pasangan hidup. Memilih pasangan hidup seiman adalah kewajiban dan hal yang baik, namun memilih yang seiman dan sesuku adalah yang terbaik. Seorang teman dari suku lain pernah bertanya kepada saya, “Kenapa orang Batak selalu mencari pasangan orang Batak? Apakah itu sebuah keharusan? Apakah memang suku lain bernilai lebih rendah daripada orang Batak?” Menghadapi pertanyaan seperti ini dari suku lain, saya tetap menggunakan jawaban yang sudah dari dulu saya simpan dalam memori otak saya. “Begini, Bangsa Batak adalah bangsa yang suaranya suka “keras dan kencang.”

Bisa jadi karena geografis tinggal suku Batak dulunya banyak jurang dan lembah. Jadi kalo ngomong pelan, kagak kedengaran. Makanya suaranya kencang-kencang. Suara kencang-kencang seperti ini jelas bertolak belakang dengan suku lain yang terkenal lembut seperti Sunda dan Jawa. Jadi seandainya seorang Batak menikah dengan suku Jawa atau Sunda, akan membutuhkan adaptasi soal interpretasi dan intonasi suara. Seorang Batak yang berbicara dengan suara kencang kepada Istrinya yang non-Batak, bisa menimbulkan multi intrepretasi. Bisa saja sang Istri menganggap si Suami Batak membentaknya, bisa saja si Istri tidak terima dan sakit hati. Ketika tidak tahan, Si Istri malah bernyanyi sambil menangis “Pulangkan saja, aku pada Ibuku, atau bapakku.” Kan repot, Bos ^^.”

Perbedaan kultur menjadi sesuatu yang sangat sulit, dan bisa menyakitkan bila tidak disikapi dengan dewasa. Itu sebabnya, Stigma Batak tidak jauh berbeda dengan suku-suku lain. Menikah dengan sesuku adalah “Main aman” meskipun tidak selalu aman tentunya ^^. Sekalipun budaya suku memepengaruhi kehidupan seseorang, persoalan dalam pernikahan tentunya kembali kepada setiap personal untuk menanggapi dan memecahkannya, bukan ditentukan secara signifikan dari sukunya.

Chapter 2 – Saya Memandang “Sileban”

Saya secara personal memandang kesukuan tentu dipengaruhi oleh sentimen. Pastinya. Contoh, saat saya berada di sebuah keramaian dan berkenalan dengan seseorang. Bila dia seorang suku non-Batak, maka saya akan bertanya siapa namanya, asalnya dari mana. Namun bila dia seorang Batak, saya akan mencari hubungan kekerabatan dengannya melalui marganya, yang mana akan lebih memudahkan untuk mengembangkan pembicaraan, yang mungkin akan berujung pada bertukar kartu nama atau nomor telepon.

Terkesan seperti fanatisme terhadap kaum sesuku namun demikianlah adanya setiap orang. Seorang teman pernah berkata kepada saya, saat kamu berada di sebuah lingkungan, kamu akan mencari orang yang “sama” denganmu. Saat kamu ada di sebuah negeri asing, kamu akan lebih condong kepada orang yang “senegara” denganmu, saat kamu ada di luar angkasa, di galaxy lain, kamu tidak akan berpikir sebagai manusia, tapi kamu akan berpikir sebagai “spesies” dan ada “spesies” yang tidak sama denganmu di luar angkasa. Itu membuatmu lebih intim dengan yang satu “spesies”. Semua itu bisa diterima bila masih dalam sebuah kadar yang wajar, namun tidak sedikit fanatisme yang kelewat batas menghinggapi peradapan manusia. Hal ini terbukti dengan banyaknya persoalan rasis di berbagai belahan negara. Saya sendiri tidak menyangkal bahwa saya terkadang ‘rasis” kepada beberapa pihak.

Yang menjadi unik adalah bagaimana pandangan saya mengenai boru Sileban (boru sileban adalah istilah kepada perempuan yang non-batak, yang diberikan marga batak agar bisa menikah dengan orang batak)? Sebelum menjawabnya, saya ingin memberi sebuah contoh sederhana. Di beberapa media sosial, sudah seringkali dibagikan bahwa keuntungan mendapatkan pasangan suku tertentu. Contoh : 10 Hal yang membuatmu wajib menikah dengan orang Batak. 7 Alasan kenapa kamu harus memilih Cowok Batak.

20 Alasan kenapa Perempuan Batak adalah Pasangan Hidup yang Terbaik, dan masih banyak contohnya (Contoh ini saya ambil berorientasi pada Batak, karena faktanya tulisan tulisan seperti ini tidak semata suku Batak saja, suku yang lain juga). Apakah sudah pasti semua orang Batak adalah orang baik? Apakah sudah pasti bahwa suku lain “worthless” ketimbang orang Batak? Pertanyaan seperti ini bisa menjadi ironi bagi orang yang membuat artikel atau mempercayainya, tapi…

Menikah bagi saya secara personal, tidak hanya saya yang bahagia, tetapi keluarga saya juga. Ibu, Bapak, Tulang, Tante, Nantulang, Oppung, semuanya bahagia dan menerima pasangan saya. Bila yang membuat mereka bahagia adalah saya menikahi seorang perempuan Batak, bukan perempuan “sileban”, tentu kamu  mengerti jawaban saya bukan? :D

Chapter 3 – Resepsi Pernikahan

Sehabis “Pulang Kampung” di Desember 2015, pada awal Januari 2016, kembali ke Jakarta, dan langsung disuguhi sebuah momen yang “menghancurkan sebagian besar stigma” dalam pikiran saya. Pada awal januari, kakak sepupu saya (Putri dari Bapatua /Abangnya Ayah saya) menikahi seorang pria Jawa, dan mengundang saya dan saudara saya ke acara resepsinya. Hal ini melengkapi perjalanan keluarga Bapatua Saya yang Indonesia Raya (Anak Pertama menikah dengan perempuan Manado, Putri nomor dua menikah dengan pria Batak, Putri nomor tiga dan empat menikah dengan pria Jawa). Kebetulan Kakak sepupu saya adalah seorang yang sangat moderat dan berpikiran bebas, sehingga iseng-iseng saya bertanya kepadanya: “Kak, kenapa tidak menikahi seorang pria Batak?” Dia hanya tertawa kecil mendengarnya lalu berkata, “Inilah pilihan Kakak.”

Saya mengingat semua dengan jelas artikel-artikel yang menyebut kenapa seorang Batak harus mencari pasangan orang Batak. Saya mengingat dengan jelas petuah dan nasehat para tetua mengenai pasangan hidup yang layak untuk seorang pria Batak seperti saya. Namun semua itu menjadi membingungkan, saat saya bertemu dengan “lelaki asing” yang menikahi kakak-kakak sepupu saya. Yang menikahi Kakak saya saat ini adalah seorang pria jawa yang sangat humble dan bersahabat. Tidak sombong dan Jumawa. Tamatan dari ITB jurusan Teknik Kimia sebelum reformasi ini, dia bercerita bagaimana dirinya bergumul hingga bisa menjadi seperti sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun