Mohon tunggu...
Yosep Mau
Yosep Mau Mohon Tunggu... Penulis - Debeo Amare

Hic et Nunc

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rekonstruksi Relativisme Demokrasi Indonesia

4 Oktober 2022   18:20 Diperbarui: 4 Oktober 2022   18:24 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rekonstruksi historisisme demokrasi kebangsaan pada prinsipnya ingin menggambarkan fenomen-fenomen kesatuan yang ada dalam negara Indonesia. Fenomen-fenomen ini berangkat dari sejarah pengetahuan tentang apa itu demokrasi kebangsaan dan implementasinya untuk demokrasi saat ini. Ada begitu banyak persoalan di abad-21 yang sejatinya tidak mencerminkan rasa demokrasi. Hal ini berangkat dari kurangnya kesadaran dari warga masyarakat dan elit-elit politik untuk memaknai arti demokrasi. Tulisan ini, sejatinya melibatkan beberapa pemikiran tokoh di dalamnya, seperti Hegel, Karl Marx dan Nietzsche. Adapun Jurgen Habermas sebagai titik tolak bagi penulis dalam mendeskripsiksan konsep demokrasi dari tesis-tesisnya secara khusus berkaitan dengan demokrasi deliberatif. Demokrasi yang dicanangkan oleh Habermas tentu bertitik tolak dari dunia-dunia barat, tetapi persoalan ini tidak menutup kemungkinan bahwa konsep demokrasi ini bisa diwujudnyatakan di Indonesia sebagai negara hukum yang berideologikan Pancasila. Sebagai negara hukum dan menganut sistem demokrasi terpimpin maka historisisme dan rasa patriotisme perlu ditingkatkan, peningkatan rasa kesatuaan inilah yang sengaja diangkat sebagai bentuk rekonstruksi demokrasi kebangsaan di Indonesia".

Demokrasi Dunia Baru

Terbentuknya satu dunia baru dan masa kejayaannya tidak terlepas dari sejarah. Sejarah tentang, jatuh bangunnya pertahanan suatu bangsa ataupun negara melewati arus zaman.  Singkat kata, semua pengalaman relativisme kehidupan adalah sejarah. Sebagaimana sejarah dalam pengertian sebagai suatu pengalaman, dari pada sebagai sesuatu yang secara fisik dapat diukur dalam rentang waktu, melangkah lebih jauh sebagai media utama proses individuasi. Hal serupa dialami oleh bangsa Indonesia. Sebuah bangsa dengan kehidupan multikultural yang sangat pesat, sejatinya pernah menciptakan sejarahnya.

Pada masa peralihan kepemimpinan dari kolonialisme dalam hal ini adalah pemerintahan Belanda kepada Pemerintahan Jepang, Indonesia berada pada ambang kemerdekaan. Namun, kemerdekaan yang ingin dibentuk masih dalam taraf individualisme antar golongan. Penyebab terjadinya individualisme golongan berada pada tingkat mayoritas. Kuantitas manusia dengan suara terbanyak sejatinya memenangkan ideologi-ideologi yang membentenginya. Salah satu ideologi terkemuka di dalam bangsa ini adalah ideologi agama. Hal ini tidak dapat ditutupi dari mata-mata publik. Sejarah Indonesia telah membenarkan itu, dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), merumuskan dasar negara yaitu Pancasila dengan kelima butir di dalamnya. Kelima butir Pancasila sejatinya ingin mengangkat jati diri bangsa yang nasionalis, namun ada satu butir yang kemudian menjadi persoalan di mana tercatat dalam Piagam Jakarta demikian "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pernyataan ini sejatinya telah memecahkan kesatuan bangsa antara Timur dan Barat.

Kata-kata yang tertulis dalam Piagam Jakarta menunjukkan simbolisme kekuatan yang multitafsir. Jika ditelusuri lebih jauh akan bersentuhan langsung dengan konsep rasionalitas. Istimewanya rasionalitas yang digambarkan oleh Imanuel Kant. Kant secara tidak langsung mengatakan bahwa konsep rasionalitas memiliki kecenderungan  untuk menolak upaya penentuan yang pasti.[2] Upaya penentuan ini merujuk pada tindakan kemerdekaan ideologi segelintir orang, sehingga secara rasional dibuatlah sistem bahasa yang memisahkan antara golongan mayoritas dan minoritas.

Indonesia adalah negara hukum demikian pernyataan yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Pernyataan UUD 1945 pasal 3, memberikan ruang gerak kepada segenap bangsa untuk menyadari satu sistem pemerintahan yang dianut oleh negara ini yakni "Demokrasi". Kesadaran untuk memaknai nilai dari ideologi bangsa pada prinsipnya adalah budaya. Sebagaimana seorang historisis Lebensphilosophie memfokuskan perhatian pada budaya dan bentuk-bentuk budaya kehidupan dan mode sejarah mengenai kediriannya.[3] Fokus kebudayaan inilah yang menjadi titik tolak untuk melihat historisisme demokrasi di Indonesia selama kurang lebih 77th pasca kemerdekaan. Apakah Indonesia telah menciptakan sejarah yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat antar golongan? Pertanyaan ini menghadirkan paradigma-paradigma baru dalam konteks pluralisme dewasa ini. Oleh karena itu, tulisan ini sengaja dihadirkan untuk mengkritisi sekaligus mencari solusi tentang relativisme demokrasi Indonesia yang sebenarnya di tengah arus causalitas modern  dan kemajuan industri 4.0. Dengan bertitik tolak dari konsep historisisme demokrasi Juergen Habermas.

Berangkat dari berbagaimacam kasus yang kerap kali muncul dengan berbagai ideologi prakmatis dan melegalkan sistem demokrasi, maka perlu ditelusuri lebih dalam tentang arti dan makna demokrasi itu sendiri. Sejauhmana negara Indonesia yang memegang prinsip demokrasi untuk menjalankan sistem pemerintahan, mempertanggungjawabkan eksistensinya sebagai suatu negara hukum yang berideologikan pancasila.

Rekonstruksi dan Historisisme

Berbicara tentang rekonstruksi dan historisisme tidak terlepas dari arti kata dan pengertian kata itu sendiri. Secara etimologi rekonstruksi berasal dari kata bahasa ingris reconstruction yang berarti membangunkan kembali. Dalam kamus besar bahasa indonesiapun mengatakan hal demikian bahwa rekonstruksi pada dasarnya adalah penyusunana atau penggambaran kembali[4]. Dengan demikian rekonstruksi berkaitan erat dengan proses relativisme suatu sistem yang pernah terjadi namun berubah dalam perkembangannya.

Setiap perubahan selalu terjadi tanpa terkecuali. Sebagaimana halnya sejarah atau yang dalam bahasanya Habermas adalah historisisme. Konsep historisisme Habermas tidak terlepas dari problematika perkembangan sebagaimana dikatakan dalam suatu refleksi kesadaran sejarah sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun