Mohon tunggu...
Yunias Dao
Yunias Dao Mohon Tunggu... Mahasiswa - Faculty of National Security, Republic of Indonesia Defence University

Maritime Security Studies; Coastal Community Empowerment; Planner Analyst

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kedaulatan di Ujung Tensi: Dinamika Laut China Selatan dan Implikasinya bagi Indonesia

29 April 2024   01:13 Diperbarui: 1 Mei 2024   00:09 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol 383 berlayar di Perairan Natuna, 23/06/2016 (Sumber: Asiadaily)

Laut China Selatan, sebuah perairan yang menjadi pusat gravitasi ekonomi dan geopolitik Asia Tenggara, memiliki peran signifikan yang jauh melampaui batas-batas geografisnya. Kawasan ini, yang dilalui lebih dari sepertiga perdagangan dunia, kini terjerat dalam jalinan konflik teritorial yang melibatkan beberapa negara, dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia sebagai pemain kunci (Akinga et al., 2023). Klaim teritorial yang saling bertentangan, khususnya Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus) yang China ajukan, telah mengubah laut ini menjadi sebuah arena pertarungan kedaulatan negara-negara yang berbatasan.

Indonesia, meskipun secara historis tidak terlibat langsung dalam klaim teritorial utama di Laut China Selatan, menemukan wilayahnya sendiri, Laut Natuna Utara, di ambang tantangan yang serupa. Kawasan ini, yang secara geografis merupakan bagian dari zona eksklusif ekonomi (ZEE) Indonesia, kini terancam oleh garis klaim nine dash line yang China berikan. Secara khusus, klaim nine-dash line tersebut mencakup sekitar 83.000 kilometer persegi, atau sekitar 30% dari ZEE Indonesia yang berada di Laut Natuna Utara. Klaim ini menimbulkan ketegangan dan potensi konflik teritorial, mengingat zona yang diklaim China tumpang tindih dengan ZEE yang diakui internasional sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia. 

Laut Natuna Utara memegang peran krusial dalam geopolitik baik di tingkat regional maupun global, terletak pada jalur vital yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Kepemilikan atau pengendalian atas area ini dapat memberikan manfaat strategis yang signifikan, mempengaruhi navigasi maritim dan kegiatan perdagangan internasional secara luas. Kontrol atas jalur ini tidak hanya menguatkan posisi negara dalam skala global dalam hal jalur perdagangan, tetapi juga dalam aspek keamanan maritim dan kekuatan pengaruh di panggung internasional. 

Potensi besar di laut Natuna menarik banyak pihak untuk mendapatkan keuntungan ekonomis, memicu konflik dan pelanggaran teritorial di ZEE Indonesia. Hingga saat ini, ada berbagai macam konflik dan pelanggaran teritorial yang terjadi di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, terutama klaim nine dash line China yang menjadi ancaman di wilayah ZEE Indonesia. Hal ini harus ditanggapi dengan serius, dimana Indonesia harus bersikap tegas dalam menjaga wilayahnya yang sudah ditetapkan melalui hukum internasional. Hal ini harus dilihat sebagai ancaman kedaulatan, dan tidak hanya melihatnya dari prespektif territorial, tapi lebih kepada harga diri sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan, berdasarkan UNCLOS 1982, yang telah diperjuangkan melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957.

Apa itu Nine Dash Line?

Nine Dash Line adalah garis yang secara sepihak dibuat oleh China untuk menandai klaim atas sekitar 90% dari Laut China Selatan, yang dinyatakan sebagai wilayah maritim historis China. Garis ini pertama kali muncul pada peta China pada tahun 1947 dengan sebelas garis putus-putus, setelah Perang Dunia II, ketika Partai Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kai Sek menguasai beberapa pulau yang sebelumnya dipegang oleh Jepang. Setelah kekalahan di daratan utama, Kuomintang mundur ke Taiwan, dan pada tahun 1949, Republik Rakyat China yang berorientasi komunis dibentuk dan mengklaim sebagai satu-satunya perwakilan resmi China yang mewarisi klaim-klaim maritim tersebut, klaim yang juga dipertahankan oleh pemerintahan Taiwan.

Pada 1950-an, dua dari garis tersebut dihapus oleh Perdana Menteri China, Zhou Enlai, sehingga hanya menyisakan sembilan garis. Penghapusan ini merupakan bentuk dukungan untuk Vietnam Utara yang saat itu berjuang melawan Vietnam Selatan yang didukung oleh Blok Barat. Dengan demikian, Eleven Dash Line berubah menjadi Nine Dash Line. 

Hingga saat ini, nine dash line digunakan oleh China sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir seluruh wilayah laut seluas 2 juta km persegi. Klaim ini berdampak signifikan, termasuk atas wilayah perairan ZEE Indonesia di Natuna. Negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam juga terpengaruh oleh klaim ini. Wilayah-wilayah seperti Kepulauan Paracel dan Spratly, yang berada dalam nine dash line, juga diperebutkan oleh China, Vietnam, dan Taiwan. Namun, menurut konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang sah. 

Potensi dan Ancaman Terhadap Kedaulatan 

Aktivitas China di Laut Natuna Utara mayoritas terjadi di sektor timur laut, dengan koordinat antara 5 - 6 derajat Lintang Utara dan 109 derajat Bujur Timur. Pada periode Agustus hingga Oktober 2021, kapal riset Tiongkok, Haiyang Dizhi-10, diduga melaksanakan survei hidrografi di kawasan tersebut. Area ini mencakup Blok Migas East Natuna, yang terkenal dengan ladang gas D-Alpha dan Dara, yang secara kolektif menyimpan salah satu cadangan gas terbesar di Indonesia. Estimasi cadangan gas mentah di blok tersebut adalah sekitar 222 triliun kaki kubik (TCF), sementara cadangan gas yang dapat dimanfaatkan—setelah proses pemisahan dari CO2—diperkirakan sekitar 46 TCF. Dengan pemanfaatan yang efisien, sumber daya gas alam ini diharapkan bisa berkelanjutan selama tidak kurang dari 30 tahun kedepan. 

Selain itu, berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2017, total potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Nomor 711 (WPP-RI 711), yang meliputi Laut Natuna dan Laut Natuna Utara, diperkirakan mencapai 767.126 ton. Analisis ini mengindikasikan adanya keanekaragaman signifikan dalam komposisi biota laut di wilayah tersebut, yang penting untuk pengelolaan dan konservasi sumber daya kelautan. 

Potensi lainnya, laut Natuna juga tercatat memiliki kekayaan situs sejarah. Adhityatama dan Sulistyarto (2018) dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Natuna disebut memiliki situs barang antik dan banyak peninggalan keramik utuh yang bisa diambil bahkan diperdagangkan dari dasar laut tersebut. Masa peninggalannya pun beragam mulai dari 960-1279 Masehi masa Dinasti Song, abad ke-17 masa Dinasti Qing. Sebagian besar keramik ini adalah barang niaga dari luar Nusantara atau barang impor masa silam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun