Mohon tunggu...
Yunias Dao
Yunias Dao Mohon Tunggu... Mahasiswa - Faculty of National Security, Republic of Indonesia Defence University

Maritime Security Studies; Coastal Community Empowerment; Planner Analyst

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kedaulatan di Ujung Tensi: Dinamika Laut China Selatan dan Implikasinya bagi Indonesia

29 April 2024   01:13 Diperbarui: 1 Mei 2024   00:09 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol 383 berlayar di Perairan Natuna, 23/06/2016 (Sumber: Asiadaily)

Dibalik potensi ini,  ketegangan dan ancaman yang sedang berlangsung di Laut China Selatan adalah klaim territorial China yang dilambangkan melalui nine dash line. Klaim ini mencakup hampir seluruh Laut China Selatan, termasuk sebagian dari ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara (Farida & Setiyono, 2022). Respons Indonesia terhadap penegasan unilateral China telah bersifat tegas dan strategis. Meskipun Indonesia bukan pihak utama dalam sengketa Laut China Selatan yang lebih luas, klaim China ini berpotensi mengganggu pengelolaan sumber daya alam dan keamanan perbatasan maritim Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak hanya meningkatkan patroli keamanan di wilayah yang disengketakan, namun juga secara publik menolak klaim China melalui nota diplomatik yang menegaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional yang sah. 

Ancaman terhadap kedaulatan Indonesia bukanlah sekadar proyeksi teoretis tetapi realitas yang harus dihadapi dengan serius. Intrusi oleh kapal-kapal penangkap ikan China—seringkali dikawal oleh Coast Guard China—ke dalam ZEE Indonesia mengindikasikan tidak hanya pelanggaran kedaulatan, tetapi juga ancaman terhadap sumber daya alam Indonesia. Insiden-insiden seperti ini potensial memicu konflik yang lebih besar antara penegak hukum Indonesia dan kapal-kapal China. 

Perairan Natuna kembali disorot setelah China menuntut Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam (migas) karena mengklaim wilayah itu miliknya. Padahal Indonesia sudah menyatakan bahwa ujung selatan Laun China Selatan adalah ZEE milik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara. Frekuensi dan intensitas insiden ini menambah ketegangan dan menimbulkan kekhawatiran atas kemungkinan konfrontasi militer. 

Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengecam insiden tersebut sebagai pelanggaran kedaulatan Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinennya. Sebagai tanggapan terhadap serangkaian pelanggaran kedaulatan ini, Indonesia mengubah nama sebagian ZEE di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada tahun 2017, sebagai pernyataan kuat Indonesia dalam menjaga kedaulatannya (Maulana & Ibrahim, 2023). 

Eskalasi konflik menjadi ancaman yang sangat serius dalam situasi ini. Walaupun Indonesia telah berupaya mempertahankan pendekatan yang terukur dan diplomatis, adanya aktivitas militer yang meningkat dari kedua belah pihak di wilayah yang disengketakan bisa mengarah pada insiden yang tidak diinginkan. Kekhawatiran terbesar adalah bahwa insiden kecil—seperti tabrakan antara kapal—bisa memicu konflik yang lebih besar, menyeret Indonesia dan China ke dalam konfrontasi yang dapat meluas menjadi krisis regional dengan melibatkan negara-negara ASEAN lainnya. 

Perspektif Hukum Internasional 

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) menyediakan fondasi hukum yang kuat untuk mengatasi isu-isu kedaulatan di laut. UNCLOS, yang Indonesia ratifikasi pada tahun 1986, mendefinisikan batasan-batasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan hak-hak negara kepulauan. Menurut konvensi ini, sebuah negara memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengexploitasi sumber daya alam di dalam ZEE-nya, yang mencakup area hingga 200 mil laut dari garis dasar pantainya (Borte & Victoria, 2023). Dalam konteks Laut China Selatan, banyak klaim China bertabrakan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh UNCLOS. Klaim nine dash line yang diterapkan China tidak didukung oleh UNCLOS, karena secara sepihak memperluas klaim teritorial melebihi batasan yang diizinkan. 


Pendekatan hukum terhadap konflik ini mencapai titik penting dengan keputusan arbitrase tahun 2016 oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, yang menolak klaim teritorial China berdasarkan nine dash line. Meskipun China menolak untuk mengakui atau mematuhi keputusan ini, putusan tersebut memberikan preseden hukum internasional yang kuat yang mendukung posisi negara-negara yang menentang klaim tersebut, termasuk Indonesia. Keputusan ini menguatkan argumen bahwa tindakan-tindakan berdasarkan klaim historis yang tidak didukung oleh bukti hukum konkret dan diterima secara internasional tidak dapat diterima. 

Dengan mempertimbangkan UNCLOS dan keputusan arbitrase internasional, jelas bahwa penyelesaian sengketa di Laut China Selatan harus mematuhi hukum internasional. Indonesia, dengan mengacu pada kerangka hukum ini, memperkuat posisinya dalam komunitas internasional sambil berusaha untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorialnya. Pemanfaatan hukum internasional tidak hanya sebagai alat diplomasi tetapi juga sebagai komponen strategis dalam menegakkan kedaulatan, menjadi kunci dalam navigasi tantangan geopolitik di kawasan tersebut. 

Namun, terdapat tantangan dalam mengimplementasikan putusan hukum internasional, terutama mengingat ketidakhadiran mekanisme penegakan yang kuat dan ketidakmampuan UNCLOS untuk mengharuskan kepatuhan. Dalam hal ini, perluasan kerjasama regional dan peningkatan kapasitas diplomasi Indonesia menjadi krusial dalam menavigasi kompleksitas ini. 

Upaya Solutif

Strategi dan solusi untuk menanggapi tantangan kedaulatan di Laut China Selatan harus komprehensif dan multi-dimensi, menggabungkan upaya diplomasi, pertahanan, dan kerjasama internasional. Kegiatan ini harus mencerminkan komitmen Indonesia sebagai negara yang mendukung tatanan internasional berbasis aturan, dan harus dirancang untuk memperkuat posisi negara dalam arena internasional serta melindungi kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. 

Indonesia perlu mempertahankan dan meningkatkan kapasitas pertahanan serta keamanannya untuk melindungi kedaulatannya di tengah kompetisi global yang meningkat dan eskalasi situasi di Laut China Selatan. Peningkatan klaim teritorial oleh China dan intensifikasi rivalitas Amerika Serikat-China menuntut Indonesia untuk memperkuat posisi pertahanannya, meliputi peningkatan kegiatan militer dan patroli keamanan di Laut Natuna Utara dan penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif oleh kapal asing. Penguatan infrastruktur di pulau-pulau terdekat juga menunjukkan komitmen Indonesia dalam menjaga kedaulatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun