Penulis : Opendri Halawa
@email : opendri.halawa9@guru.smp.belajar.id
Pendahuluan
Perubahan kurikulum di Indonesia merupakan fenomena yang tidak asing. Hampir setiap pergantian menteri atau presiden, selalu disusul dengan kebijakan kurikulum baru. Sering kali perubahan tersebut terkesan terburu-buru, belum matang, namun tetap dipaksakan untuk segera diimplementasikan. Di atas kertas, kurikulum baru selalu diklaim lebih unggul. Namun di lapangan, tidak sedikit guru yang merasa seolah-olah siswa hanya menjadi kucing percobaan dari sistem yang terus bereksperimen.
Saya adalah seorang guru di sebuah sekolah dasar di daerah terpencil. Ketika Kurikulum Merdeka mulai diterapkan, saya menyambut semangatnya dengan antusias. Konsep pembelajaran berbasis proyek (PjBL), pendekatan diferensiasi, dan integrasi teknologi terdengar hebat. Tapi di lapangan, saya bertanya-tanya apakah semua sekolah di negeri ini benar-benar siap menjalankannya?
Kurukulum dan Kepentingan Politik
Sebagai guru yang mengajar di daerah terpencil, saya melihat bahwa perubahan kurikulum lebih banyak didorong oleh kepentingan politik daripada kebutuhan pendidikan yang nyata. Setiap pemimpin baru ingin "meninggalkan jejaknya" dalam bentuk kurikulum baru. Akibatnya, yang menjadi korban adalah siswa dan guru yang harus beradaptasi terus-menerus dengan sistem yang belum tentu lebih baik dari sebelumnya. Lebih parah lagi, setiap kurikulum baru selalu datang dengan alokasi anggaran baru. Sayangnya, anggaran besar tersebut sering kali tidak dirasakan manfaatnya oleh guru dan siswa di daerah. Yang terlihat justru indikasi penyalahgunaan anggaran, mulai dari pengadaan yang tidak tepat sasaran hingga pelatihan yang hanya formalitas demi sertifikat. Ujungnya, kualitas pendidikan tidak berubah signifikan, tetapi kelelahan guru meningkat.
Tantangan di Daerah Terpencil
Kurikulum Merdeka, misalnya, mengusung semangat yang sangat positif: pembelajaran berbasis proyek (PjBL), diferensiasi, dan integrasi teknologi. Namun, di daerah seperti tempat saya mengajar, ini sangat sulit diwujudkan.
Beberapa tantangan nyata yang saya alami antara lain:
- Fasilitas sangat terbatas, tidak ada infokus, internet, atau ruang belajar memadai.
- Pelatihan guru tidak merata, bahkan ada yang hanya disampaikan dalam bentuk materi lewat grup WhatsApp.
- Siswa belum melek teknologi, bahkan banyak yang tidak memiliki HP, apalagi laptop.
Dengan kondisi seperti ini, implementasi Kurikulum Merdeka sering kali hanya berlangsung di atas kertas. Namun, bukan berarti saya menyerah