Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mereka Menyimpan Benci dan Kebencian Politik

19 Januari 2020   12:09 Diperbarui: 19 Januari 2020   12:15 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suplemen: Saya sengaja copas utuh suplemen ini sebagai dasar penulisan artikel berikutnya.

Benci dan Kebencian.

Merupakan suatu sikon tidak suka yang sangat kuat terhadap sesuatu; misalnya seseorang yang benci terhadap yang lain. Kebencian yang kuat dan mendalam itu, menjadikan adanya tindakan-tindakan, perbuatan, kata-kata yang bersifat menyerang terhadap yang dibenci. Benci dan kebencian seringkali tak bisa lenyap, namun bukan berarti tidak bisa berubah menjadi sebaliknya.

Politik Kebencian.

Politik Kebencian, menurut saya, sisi lain (seperti dua sisi mata uang) dari Kebencian Politik. Dua-duanya menyatu, ada, terlihat pada (dalam diri) politisi atau pun Partai Politik.

Dengan itu, karena adanya Kebencian Politik, maka harus ditindaklanjuti dengan Politik Kebencian. Praktek-praktek politik kebencian, (berdasar Kebencian Politik) terlihat melalui ungkapan pernyataan, orasi, narasi yang bersifat ujar kebencian terhadap lawan politik; apa pun yang lawan politik lakukan (ranah privat, keluarga, politik, politis), selalu atau pasti ditanggapi dengan nada dan irama penuh kebencian, tanpa etika, tak bermartabat, bahkan vulgar. Tujuannya adalah, sesuai makna politik, publik dipengaruhi, diajak, untuk membenci lawan politik; walaupun tak ada alasan untuk 'harus membenci.'

Kompasiana

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Bogor, Jawa Barat | Langsung saja; tadi, seseorang yang baru saya kenal di Tempat Duduk Prioritas untuk Manula, (Note: Thanks untuk KAI karena kaum tuwir seperti saya, kini naik KRL Jabotabek, selalu mendapat tempat duduk. Walau kadang menjengkelkan, karena yang tidak berhak duduk di situ (lak-laki dan perempuan muda usia), pura-pura tidur) setelah beberapa menit bercakap-cakap tentang sosio politik RI serta bertukar nomor telepon, ia berkata dengan setengah keras, "Mau ke mana arah bangsa ini?"

Pak Usman, katakanlah itu namanya, yang mantan pejabat tinggi dan sekarang Guru besar di Universitas Swasta ternama di Bandung, melanjutkan bahwa, "Politik dan politisi Indonesia telah kehilangan harga diri, nilai-nilai, dan etika; sehingga masih memelihara benci dan kebencian politik." Saya pun mengiyakan, sambil mencari artikel tentang kebencian politik, dan mengirim ke WA Prof Usman. Beberapa menit kemudian ia turun di Univesitas Indonesia, dan saya melanjutkan ke Bogor.

Ya dan ya. Saya terus mengingat kata-kata dari kenalan baru tadi, "...masih memelihara benci dan kebencian politik."  Sikon itulah yang sementara terjadi di NKRI tercinta, entah kapan bisa berakhir. Suatu sikon yang sebenarnya harus dihapus, dihancurkan hingga tak berbekas; dan dengan itu para Politisi dan Parpol, sejatinya bisa memadukan diri agar sama-sama membangun Bangsa serta Negara.

Saya pun teringat tentang 'Banjir Akhir dan Awal Tahun' di Jakarta, yang korbannya belum selesai diurus, dan banjir kemarin serta hari ini. Ya, BAAT, 'Banjir Akhir dan Awal Tahun' di Jakarta telah memicu (kembali) sesuatu yang seharusnya telah terpendam dan tiada. Yang seharusnya terpendam dan tiada tersebut adalah benci dan kebencian politik.

Faktor Pemicu

Tentang banjir yang melanda Jakarta, semua orang sudah tahu akibat dari (i) hujan yang terus menerus sejak 30, 31 Desember 2019, dan 1 Januari 2020, (ii) luapan Banjir Kanal, (iii) saluran air dalam kota yang dangkal, sempit karena tersumbat sampah, (iv) aliran air menuju saluran atau got semakin sempit atau pada sejumlah ruas jalan tertutup trotoar. Maka untuk mengatasinya, cukup melakukan pembenahan pada (ii) hingga (iv); dan itu mudah dikerjakan oleh Pemda DKI Jakarta. Mengatasi banjir di Jakarta.

Namun, apa-apa yang seharusnya dikerjakan tersebut, ternyata dibiarkan apa adanya; bahkan Pemda DKI Jakarta (lebih) memilih memasang Toa Peringatan Dini di sejumlah tempat (Note: Faktanya, banjir kemarin, toa-toa tersebut tak berfungsi; bahkan ada Ketua RW yang menyatakan, "Saya gunakan WA, pakai Toa brisik") sebagai upaya ingatkan warga agar segera mengungsi. 

Selain itu, ketiadakmampuan Pemda DKI Jakarta mengantisipasi banjir tersebut, berujung pada sejumlah korban melakukan gugatan ke Pemda, dan (tak ketinggalan) para aktivis melakukan Aksi Turunkan Sang Gubernur.

Gerakan para aktivis itulah, (yang hanya berfokus pada banjir dan Gubernur DKI Jakarta), ternyata mendapat balasan atau reaksi tidak setimpal dari para pendukung Sang Gubernur atau PSG. Ketika itu, saat aksi pro dan kontra Sang Gubernur, saya melihat langsung PSG (yang didatangkan dari luar Jakarta) membentangkan sejumlah poster dan pamflet yang membully Presiden RI Joko Widodo, termasuk oleh oknum guru ASN dari MAN 13 Jakarta. Bahkan sejumlah akun FB pun ramai dengan membela Sang Gubernur dengan cara 'mencaci Presiden.' Lha .... apa hubungannya ya?

Mengapa Terjadi?

Nah. Mengapa terjadi seperti di atas atau yang dilakukan oleh PSG tersebut? Jawabannya hanya satu, yaitu adanya 'benci dan kebencian politik.' Entah sejak kapan benci dan kebencian tersebut tertanam dalam diri, tubuh, darah, daging, hati, pikiran, otak para PSG?

Jika diurut ke belakang, Gubernur yang sekarang, ia jadi karena mengalahkan BTP-Djarot; lalu mengapa masih ada dendam terhadap Presiden dan membullynya? Juga, jika para PSG tersebut adalah pendukung Prabowo Subianto (pada waktu Pilpres 2019), toh Prabowo telah menjadi bagian dari 'team work Jokowi;' lalu, mengapa mereka tetap saja tidak menyukai Presiden RI? Dan seterusnya.

Jadinya? Ada kemungkinan, Sang Gubernur mulai (telah?) membangun poros dukungan politik baru dalam rangka tujuan dan kompetisi politik pada akan datang atau ke depan; entah itu sebagai Gubernur (lagi) atau menjadi salah satu di area elite Nasional. Sehingga upaya untuk mencapai hal tersebut, ia gunakan PSG sebagai alat untuk 'mengecilkan' siapa pun yang sekiranya menjadi penghalang laju serta gerakan politiknya. Sayangnya, langkah tersebut tidak dilakukan secara smart, melainkan justru 'membunuh diri' dengan menunjukan benci serta kebencian terhadap Presiden RI.

Selain itu, upaya Sang Gubernur yang 'melepaskan PSG' untuk menghadang gerakan atau aksi para  kontra terhadap dirinya, itu sah-sah saja, namanya juga usaha. Tapi, hendaknya dilakukan dengan cara yang sejajar dan kontekstual serta pertimbangkan batas-batasnya. Faktanya, yang terjadi adalah PSG melakukan aksi penghadangan dengan orasi dan narasi liar, misalnya 'Lu Turunkan Anies, Gue Turunkan Presiden lu'; ini, hubungannya di mana? Selain terjadi karena ada benci dan kebencian politik. Suatu salah kaprah yang di luar akal sehat saya yang sudah tuwir.

Akhir kata

Pada ranah itu (Kebencian Politik dan Politik Kebencian) para Politisi dan Parpol tersebut sebagai upaya meruntuhkan krebilitas pemerintah; mereka bukan oposisi yang kritisi dan berikan solusi, namun hanya asal bunyi tanpa jalan keluar.

Agaknya, bangsa ini, terutama Politisi dan Parpol serta para pendukungnya, masih harus terus menerus belajar; belajar, belajar, dan belajar; terutama belajar berpolitik yang bermartabat dan tanpa Kebencian Politik serta Politik Kebencian.

Opa Jappy | Indonesia Today

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun