Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Papua Setelah Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

19 Desember 2017   01:15 Diperbarui: 20 Desember 2017   11:40 3137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu ketika di masa lalu, tepatnya April  2014,  Joko Widodo, masih sebagai Calon Presiden, ada dan hadir di Papua.  Pada waktu itu, sejumlah besar warga Papua dari desa, lembah, hutan, dan gunung menyambut  kehadiran Joko Widodo. Ia disambut bagaikan 'Koreri' yang ditunggu untuk perubahan serta menggenapi pengharapan masa depan mereka.

Ketika itu, "Mereka menangis dan mengeluarkan air mata;

bukan air mata kesedihan,

bukan air mata duka dan nestapa,

bukan air mata kelaparan.

Tetapi, air mata sukacita, air mata kegembiraan, air mata kekaguman, air mata yang bercerita tentang diri yang papa, merana, dan derita, air mata pengharapan; pengharapan masa depan yang lebih baik. 

Ada juga yang berseru. "Jokowi ko saja tra ada yang lain."  Ko pasti Presiden," atau "Jokowi kamu saja tidak ada yang lain. Kami pasti Presiden, ....;" Rugaya penjual makanan, juga berkata, "Orangnya sangat sederhana sekali. Saya kaget dan tidak sangka sekali, ... ;" Jimmy Demianus Idjie, "Tak ada pesta penyambutan, namun rakyat menyambutnya dengan bahagia dan senang. Ini bukti ia benar-benar dicintai rakyat, ......." [Opa Jappy/Kompasiana].

Kini, tiga tahun kemudian, kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ternyata telah membuktikan adanya perubahan yang cukup signifika di Papua.  Misalnya adanya sejumlah peningkatan infrastruktur (baru) fisik, antara lain jalan raya, pos-pos di perbatasan, harga BBM yang meluncur turun, serta menurunnya kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun, semuanya bukan berarti permasalahan lainnya yang terjadi di Papua, sejak lama mau pun baru, sudah terselesaikan.

Ternyata, di sana-sini masih banyak hal yang belum mencapai harapan, tidak terjamah, tak berubah sehingga butuh penanganan yang lebih holistik, terpadu, dan lintas institusi.  Hal tersebut terbukti dari paparan dan diskusi pada Seminar Nasional "Tiga Tahun Pemeritahan Jokowi JK Untuk Papua,"  yang diselenggerakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 18 Desember 2017, hari ini, di Auditorium LIPI, Jl Gatot Subroto Jakarta.

Pada seminar tersebut, Kepala Tim Kajian Papua LIPI Dr Adriana Elisabeth, mengungkapkan  dan mengakui adanya perubahan pembangunan di Papua, terutama infrastruktur fisik. Semuanya itu karena komitmen pemerintah Jokowi-JK dalam membangun Papua berdasarkan 4 Pilar, Nawacita, dan Demokrasi serta HAM.  Selanjutnya menurut Andriana Elisabeth,

"Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM telah membentuk tim terpadu untuk menanggulangi kasus pelanggaran HAM berat di Papua dan Papua Barat.

Tim investigasi HAM sudah dibentuk tapi kemajuan belum bisa dirasakan, penanganan cenderung lambat karena pemahaman kurang soal HAM. Ada kesan menghindar soal HAM karena terkesan hanya masalah sipil politik. Kasus pelanggaran HAM di Papua tidak hanya terkait dengan para korban. Namun juga, kasus yang terjadi karena ada perlawanan orang Papua terhadap pihak asing atas tanah adat mereka yang dirampas. Ketika masyarakat adat mempertahankan hak adat, tanah adat, dianggap kelompok antipembangunan.

Di sisi lain, salah satu cara untuk menyelesaikan masalah di Papua adalah dengan melakukan dialog dengan masyarakat di Papua. Yang terpenting dialog jadi bagian proses demokratisasi harus jadi satu pemikiran dan direalisasikan. Pasalnya, jika pendekatan kekerasan yang masih digunakan untuk menyelesaikan masalah, nantinya justru Indonesia akan mengalami kemunduran demokrasi dan melunturkan nasionalisme. Penghentian kekerasan, penataan aparat keamanan dan intelijen juga harus dilakukan.

Juga, menurut Adriana Elisabeth, tidak cukup pembangunan infrastruktur fisik, tapi juga membangun infrastruktur sosial serta perhatian pada martabat dan hak-hak adat masyarakat (asli) Papua. Dalam kerangka membangun infrastruktur sosial dan penanganan masalah HAM tersebut, hanya bisa dilakukan melalui dialog dengan Orang Papua. Oleh sebab itu, LIPI telah menyusun 'rancang bangun dialog,' dan menawarka ke Kementerian terkait. Sayangya, menurut Adriana, belum mendapat tanggapan serius oleh Kementerian yang dihubungi.

Pada kesempatan yang sama, Deputi Koordinasi Bidang Dalam Negeri, Kemenko Polhukam RI Mayjen TNI AD Andrie T.U Soetarno,  menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi-JK telah meugaskan kepada Menkopolhukam Wiranto sebagai Kepada Deks Papua, untuk menyelesaikan  semua hal yang menyangkut Papua. Sedangkan, Asisten Deputi I bidang Koordinasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Kemenko Polhukam Syafii, menyataka bahwa,  "Tim terpadu di bawah Kemenko Polhukam masih terus bekerja hingga saat ini. Tak hanya itu, tim tersebut juga berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk segera bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua."

Pada Seminar Nasional "Tiga Tahun Pemeritahan Jokowi JK Untuk Papua" tersebut, hadir juga salah satu Tokoh Agama di Papua yaitu Pastor Jhon Djonga, dan menyampaikan berbagai temuan yang ia dapatkan di Papua. Menurut Jhon Djonga telah ada komitme pemerintah untuk membangun dan memajukan Papua secara berkelanjutan, namun miskin dialog antara pemerintah dan masyarakat. 

Selain itu, menurut Jhon Djonga, pembangunan Papua harus memperhatikan pemenuhan dasar masyarakat yaitu pendidikan, kesehatan, kemiskinan, penegakkan hokum da HAM. Di samping itu, lambatnya perubahan dan ketidakmajuan Papua akibat dari tata kelola pemerintah (lokal) yang rendah dan tak beres, tidak berjalannya, serta tak fungsi pegawasan.  Pastor Jhon Djonga juga menyoroti adanya Bupati atau pun Camat serta aparat pemerintah lainnya yang sering tak ada di wilayah kerjanya, bahkan lebih banyak ada di Jakarta daripada di daerah; termasuk Sekolah tanpa guru dan Puskesmas tanpa tenaga medis sehingga menjadi 'rumah hantu.' Selajutnya  Pastor John Djonga menyataka bahwa 

"Pemerintahan lambat menangani persoalan HAM di Papua. Pemerintah yang terkesan cepat dalam merespons pernyataan sepihak Presiden Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel serta memberikan dukungan untuk kemerdekaan Palestina.

Hal berbeda dengan penanganan persoalan di negaranya sendiri. Pemerintah dianggap mengesampingkan kasus HAM di Papua. Papua tidak lebih penting daripada Palestina.

Tim penanganan kasus HAM Papua yang dibentuk pemerintah, sampai saat ini belum ada aksi dan gerakan nyata dari tim tersebut untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Aksi dan gerakannya khayal, tidak ada apa-apa, apa yang mau diharapakan untuk penegakkan hukum.

Kinerja Kejaksaan Agung dan Komnas HAM yang diberi amanat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua namun terkesan lambat. Pasalnya, di masa pemerintahan Jokowi tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM di Papua yang bisa diselesaikan."

Seirama dengan Pastor Jhon Djonga, Max Binur, Pekerja Sosial dan aktivis Budaya Papua, menyatakan bahwa, permasalahan Papua adalah'warisan' dari para pedahulu; dan hanya bisa diselesaikan melalui dialog. Sedangkan Direktur Eksekutif  Pusaka, Y.L Franky menyoroti tentang perampasan tanah rakyat oleh investor  yang 'dibantu' aparat. 

Hal tersebut, juga diperkuat oleh Opa Jappy, yang dalam catatannya, hingga kini belum ada Keputusan Presiden Jokowi tentang Hutan (Masyarakat) Adat di Papua. Padahal, menurut Opa Jappy, adanya Hutan Adat, bisa sebagai area mata pencaharian, hutan lindung, atau pun perlidungan sumber air, serta tak diganggu oleh investor  perkembunan, dan terlidungi dari perampasan tanah.

Koleksi Pribadi
Koleksi Pribadi
Semua hal di atas, adalah sedikit catatan tetang Papua setelah pemerintahan Jokowi-JK. Walaupun Bumi Papua sangat luas, namun 252 suku di Papua masih sedikit jika dibandingka dengan luasnya wilayah. Papua yang penuh hutan, sungai, lembah, dan gunung bukan merupakan halangan pemeritahan Jokowi -JK untuk membangunnya.  Keputusan dan kebijakan politik untuk membangun tidak berhenti pada niat, rencana, serta wacana, melainkan melalui tindakan nyata.

Ya, Papua adalah 'raksasa yang sudah terbangun dari tidur panjang,' karena sentuhan tangan dingin Presiden Jokowi. Ia berani ada di sana, dan menerobos hutan, gunung, dan lembah untuk membawa perubahan serta harapan baru kepada Papua dan Orang Papua.

Papua juga indah, kaya, dan surga yang tertinggal; oleh sebab itu perlu memajukan Papua sehingga menjadi Surga yang Tetap Indah.

Papua adalah Kita, Kita adalah Papua

Opa Jappy

Pendiri Komuitas Indonesia Hari Ini

KLIK

Papua Indah, Kaya, dan Surga yang Tertinggal

Keadaan Umum Papua

  • Jawaban Orang Asli Papua, sangat mengkhawatirkan dan mengkhawatirkan, 70 %
  • Jawaban Penduduk non Papua Asli di Papua, Baik dan Baik Sekali, 30 %

Masalah terbesar di Tanah Papua.

  • Jawaban Warga luar Papua, kualitas pendidikan yang rendah, 14 %
  • Jawaban Penduduk Papua non Asli, miras dan narkoba, 12 %
  • Jawaban Orang Asli Papua, pelanggaran HAM, 14 %

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun