Mohon tunggu...
Rahman
Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Menulis apa yang saya suka, siapa tahu kamu juga suka. Twitter: @oomrahman.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Prancis Tidak Perlu Meyakinkan Anda untuk Bisa Tampil di Laga Final

15 Juli 2018   03:04 Diperbarui: 15 Juli 2018   08:33 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Ayam Jantan kerap kali menang tipis untuk tampil di final Piala Dunia 2018. Foto: FIFA.com.

Meninggalkan Dimitri Payet, pemain Prancis paling menghibur pada Euro 2016 (dua kali man of the match plus membuat Cristiano Ronaldo cedera di laga final) bisa pula dilacak sebagai salah satu langkah awal Deschamps bakal menyajikan sepak bola negatif. Bahkan malah sebetulnya semenjak Prancis menunjuknya sebagai pelatih, pragmatisme seperti ini bisa diramalkan.

Dijuluki Eric Cantona sebagai porter d'eau alias si pengangkut air saat masih merumput, Dede (sapaannya) bertanggung jawab melakukan laku ikhtiar perbuatan kotor. Memotong aliran bola, mengganjal langkahnya, atau apapun yang bertujuan merusak ritme serangan rival. 

Selepas sukses atas tugasnya, Dede memberikan bola kepada pemain-pemain bertalenta menyusun peluang gol. Dia kapten pada tim juara Piala Dunia pertama dan Piala Eropa kedua Les Bleus. Melengkapi raihan dua trofi Liga Champions dalam total 13 trofi kompetisi elite yang dia menangi.

Sebagai pelatih, pria bertubuh mungil 169 cm ini ialah kontributor pemberi final Liga Champions absurd yang mementaskan Monaco arahannya melawan Porto asuhan Jose Mourinho pada 2004. Capaian tertinggi terakhir tim Prancis di kasta sepak bola Eropa level klub. Dia memasang muka tebal membantu Juventus juara Serie-B. Sempat memberi double winners kepada Marseille pada 2010, sebelum bangsawan Qatar mengubah konstelasi dari Paris.

Didier Deschamps berpeluang menjadi sosok ketiga yang juara Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih, setelah Mario Zagallo (Brasil) dan Franz Beckenbauer (Jerman). Foto: FIFA.com.
Didier Deschamps berpeluang menjadi sosok ketiga yang juara Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih, setelah Mario Zagallo (Brasil) dan Franz Beckenbauer (Jerman). Foto: FIFA.com.
Pada kesempatan ketiga turnamen besar ajang antarnegara, Deschamps tidak ada pilihan selain juara. Menyelesaikan turnamen sebagai finalis sebaiknya cukup sekali dia kecap dua tahun silam. Apalagi, mereka kalah dari Portugal, tim yang hanya duduk di peringkat ketiga tanpa sekalipun menang pada fase grup, mencetak delapan gol dari delapan laga, dan juara berkat gol Nene, penyerang tidak terkenal baik sebelum ataupun sesudah kompetisi.

Berbeda dengan Prancis yang punya tanggung jawab moral menghibur publik, mereka menceploskan 13 gol, lupa kalah sebelum final, dan punya Griezmann sebagai top skor dan pemain terbaik turnamen. Pembedanya justru terletak pada persoalan paling penting.

Lagi pula tidak perlu melongok terlalu jauh untuk menemukan negara relatif sukses di Piala Dunia yang berpragmatisme ria, sekaligus mengkhianati filosofi sepak bola bangsanya. Belanda mendapati final keduanya di Piala Dunia pada 2010, saat Bert van Maarwijk mengedepankan sepak bola bertahan setelah bertahun-tahun memeragakan totaalvoetbal yang kalau ukurannya trofi, hanya sukses pada Piala Eropa 1988. 

Pilihan moral van Maarwijk saat itu menghasilkan debat tiada berkesudahan dan bisa dilanjutkan sampai sekarang, terlebih memang Der Oranje tetap belum pernah juara.

Finalis edisi 2014, Argentina pun selalu menang tipis, tidak pernah unggul lebih selisih satu gol sepanjang turnamen. Peragaan semakin menjadi-jadi saat Messi cenderung tidak menonjol pada fase gugur lewat dua kemenangan 1-0 dan adu penalti di babak semifinal. Berbeda dengan sang juara Jerman yang punya catatan kemenangan bombastis 7-1 atas Brasil di Maracana.

Pilihan Deschamps semakin masuk akal merujuk sulitnya negara-negara unggulan meraih kemenangan sedari babak grup. Jerman tersingkir secara dini, operan Spanyol buntu menembus pertahanan Rusia, Brasil dan Argentina hampir segendang sepenarian perihal berjuang untuk menang di fase grup, dan Inggris bersiasat mencari gol lewat bola mati. Nyaris tiada yang benar-benar menghegemoni dari segala penjuru mata angin soal permainan beriring mantapnya kemenangan.

Take the trophy, Les Bleus!. Foto: FIFA.com.
Take the trophy, Les Bleus!. Foto: FIFA.com.
Griezmann tidak peduli torehan golnya lebih sedikit daripada saat Piala Eropa 2016 dan senang-senang saja Prancis 'menang jelek' selagi nanti juara Piala Dunia. Pogba ogah teledor lagi seperti final Piala Eropa 2016, karena dia ingin teguk manisnya kemenangan di laga final.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun