Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menista Buku, Menghina Pustaka, dan Membunuh Eksistensi Bangsa

18 Mei 2021   00:08 Diperbarui: 18 Mei 2021   00:26 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : bp-guide. id

Pada hari ini, 17 Mei 2021,  banyak yang berlomba-lomba menuliskan dan mengekspresikan kecintaannya kepada buku.  Peringatan Hari Buku Nasional sejak tahun 2002 yang dicetuskan pertama kali oleh Menteri Pendidikan saat itu, A. Malik Fadjar, sekaligus tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional pada tahun 1980.  Tentu saja hal ini baik, mengingat rendahnya minat baca di kalangan masyarakat kita. 

     Berdasarkan skor PISA (Programme for International Student Asessement), skor Indonesia dalam ketiga bidang yang diujikan yaitu membaca, matematika dan sains, merosot dalam tiga tahun berturut-turut.  Berdasarkan laporan PISA yang baru rilis, Selasa 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.  Tiga skor itu kompak menurun dari tes PISA 2015. Kala itu, skor membaca Indonesia ada di peringkat 65, skor sains peringkat 64, dan skor matematika peringkat 66.

     Pada 2020, Finlandia dinobatkankan sebagai negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia. Finlandia menduduki puncak tabel literasi dunia dalam studi yang dilakukan John Miller, Presiden Central Connecticut State University di New Britain. Pada peringkat kedua sampai lima besar berturut-turut adalah Norwegia, Islandia, Denmark dan Swedia.   Penelitian ini mengamati tes pencapaian literasi dan juga pada apa yang disebut dengan "karakteristik perilaku literasi", mulai dari jumlah perpustakaan, surat kabar hingga tahun-tahun sekolah dan ketersediaan komputer di negara tersebut. 

     Sedangkan di Kawasan Asia, Thailand menduduki peringkat 59 disusul Indonesia pada posisi 60.  Menurut data UNESCO, minat baca Indonesia menghasilkan indeks 0,001 %, artinya setiap seribu orang penduduk, hanya ada satu orang yang gemar membaca.

     Sepanjang perjalanan hidup dan pekerjaan saya sebagai guru, data tersebut tentu sesuai dengan kenyataan di lapangan.  Membaca, nyaris menjadi sebuah aktivitas yang jarang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, bahkan di lingkungan Pendidikan.  Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dihelat oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, sebagai daerah dengan fasilitas Pendidikan termaju hanya menghasilkan angka 54 ( skala 1-100).  Hasil ini bahkan jauh lebih rendah daripada rerata hasil UKG Nasional pada 2015 yaitu 56, 69.  Kenyataan ini segera mengingatkan saya pada hasil uji kecukupan kalori, energi dan protein yang pernah dilakukan di kalangan para atlit.  Hasilnya sembilan puluh persen atlit menderita kekurangan kalori, energi dan protein.  Bayangkan bagaiman hasil pencapaian para atlit dalam berbagai kompetisi olahraga dalam kondisi seperti ini. 

     Menista buku, bukan sesuatu yang aneh di kalangan pendidikan.  Perbuatan ini tentu saja tampil dalam berbagai ekspresi.  Di sekolah, perlakuan para siswa yang kerap mencoret-coret, menyobek, melipat dan merusak buku merupakan hal yang sering ditemukan. Buku-buku literasi di sekolah banyak yang rusak oleh vandalisme, rayap, debu atau kecerobohan para pengelola perpustakaan,  dijual di tukang loak dan dipakai sebagai pembungkus gorengan.   Bisa jadi dulu anda pernah melakukan aksi coret-coret di buku paket pelajaran saat masih sekolah?  Kalau saya tidak. 

     Bentuk penistaan yang lebih sadis kepada buku adalah pembajakan.  Praktik ini sudah lama melemahkan para penulis, penerbit dan lingkaran yang terlibat selama proses pembuatannya.  Tidakkah kita semua tahu, dalam sebuah buku tercakup perjuangan panjang  penulis, editor, desainer visual, penerbit hingga produsen bahan baku (kertas)?  Pembajakan buku, memang sebuah bentuk kejahatan yang tidak bisa dibenarkan dari sudut manapun.  Bahkan dengan payung hukum UU no 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengganjar hukuman denda seratus juta sampai empat miliar rupiah atau kurungan selama 1-4 tahun, tidak mampu mencegah Indonesia menjadi salah satu negara dengan praktik pembajakan buku termasif di dunia.  Pojok-pojok penjualan buku yang direpro secara bebas dengan kertas asal-asalan tersebar di berbagai kota.    Mungkin dengan dalih menyiasati harga jual yang lebih murah, namun hal ini akan mematikan pertumbuhan dan kemajuan iklim literasi dan intelektual kultur yang sehat.  Sungguh berat menjadi aktivis buku di Indonesia. 

     Menghina pustaka, juga merupakan hal jahat yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik kalangan akademisi maupun kalangan umum.  Bentuk paling nyata dari kegiatan ini adalah plagiarisme.  Praktik ini sungguh meluas dan nyaris menjadi sebuah kebiasaan yang sulit dihilangkan.  Keinginan untuk menghasilkan sebuah produk penulisan, baik itu sebagai syarat akademis untuk sebuah kelulusan atau kenaikan pangkat secara cepat dan mudah, telah membuat banyak orang terjebak dalam tindakan menghina pustaka.  Banyak yang ketahuan, namun lebih banyak lagi yang lolos.  Dalam sebuah portal kepenulisan yang diisi oleh kalangan guru, pernah ditemukan pelaku plagiarisme yang telah lolos dan dianugerahi gelar setahun menulis tanpa henti.  Saat mendapati praktik penistaan itu, tak ada yang bisa dilakukan oleh pengelola maupun pelakunya, bahkan saya belum melihat rilis permohonan maaf.  Sungguh sebuah penghinaan pustaka yang sempurna.

     Plagiarisme dalam skripsi, thesis, laporan penelitian Tindakan Kelas dan karya intelektual lain juga melimpah di sana-sini.  Belakangan, hal ini malah dianggap biasa.  Tentu saja jika dibiarkan terus-menerus, kegiatan plagiarime akan menurunkan budaya berpikir, mencipta dan inovasi di kalangan para akademisi dan intelektual.  Efek jangka panjangnya adalah menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, rendahnya tingkat pemecahan masalah (budaya solusi) dan bubarnya tenun keharmonisan karena akan menciptakan suasana mudah percaya pada kabar palsu dan tidak adanya kebiasaan melakukan pola pikir ilmiah (check and balances). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun