"Lies, sayangku.  Sedang apa engkau di sana?"
"Pasti engkau sedang dalam kedamaian, bersama malaikat-malaikat suci di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih. Â "
"Oh, alangkah ingin aku menyusulmu Lies, sayangku, kopi pahitku, semangatku."
"Teh lemon hangatku, permen kapasku yang manis, kukis coklatku yang renyah."
"Musk dan cendanaku, bergamot dan mintku, kesegaranku."
"Lies, Lies, Narlieswati Sekar Pratiti Devi", dan air mataku jebol tanpa henti. Â Pundakku berguncang-guncang dan lututku tertekuk rapuh. Â Akulah lelaki paling payah, paling hancur dan paling kusam saat ini.
"Lies, katakanlah. Â Bagaimana caranya kita bisa bertemu? Aku tidak tahan lagi sayangku," ratapku dengan kecengengan seutuhnya.Â
   "Semburan semangat laksana kopi pahit yang kau hidangkan tiap pagi, kehangatan lemon dan teh yang kau suguhkan sore harinya, manisnya kukis cokelat hangat bikinanmu, dan keharuman tubuhmu yang berganti setiap dua hari sekali, antara musk, cendana, bergamot dan mint, sudah menghilang."  "Hidupku kini hampa."Â
"Anak-anak jadi benci padaku, Lies," keluhku.