Mohon tunggu...
Gregorius Nggadung
Gregorius Nggadung Mohon Tunggu... Penulis - Onsi GN

Mahasiswa Universitas Nusa Cendana, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kami di Samping Badai dan Sepotong Lilin

5 April 2021   15:01 Diperbarui: 5 April 2021   15:13 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pagi itu tepat pukul 01:00 WIT Semua keadaan berubah 30 dari jarum detik kehidupan biasanya. Semua pinta terapung pada lorong jalan yang dipenuhi banjir dengan tahu dan ragu mendefinisikan kehidupan hanya tinggal sejengkal.

Gemuruh angin dari laut selatan menutup kuping-kuping lilin yang menyala di sela-sela redup tiupannya.

Tuhan, dari bangku zaman mata kami sebatas melihat, kaki kami sebatas merangkak dengan sedikit mencoba tuk berlari namun itu semua sebatas mencoba.

Dari Utara tanah raga kami melihat luapan sungai yang seakan rindu pada rumah-rumah beratap. Mereka berteriak dalam wajah dengan penuh penghayatan melihat bukit banjir memeluk pundak para sahabat sambil menahan tamparan angin yang seakan tak mau melihat cahaya lilin.

Tuhan, dari luka realita yang hampir sama kami melihat luka-luka sahabat di pintu Timur Flores, menitik air matanya dan kami terluka.

Tuhan, dari rahim yang sama kami merasakan betapa berartinya cahaya lilin di tangan Magdalena sambil mendengar kabar dari taman kota yang mengatakan bahwa kita tidak dalam baik-baik saja.

Sampai kapan Tuhan?

Dari balik etalase kaca kami terus menyalakan lilin yang perlahan padam ditiup angin tanpa bait-bait pertanyaan namun meninggalkan renungan panjang.

Di kota sana banyak yang belum siap untuk meninggalkan rumah-rumah mereka hanya karena badai sesaat. Sedangkan kami siap berlari jika memang semuanya tidak sejalan dengan hati.

Tuhan,

Mori,

Rera Wulan,

Ga'e Dewa

Ungkapan sesaat ketika gemuruh laut disampaikan angin pada cahaya lilin yang menyayat dalam detak raga yang hampir retak.

Kami kehabisan cara untuk mendefinisikan hidup yang seakan larut. Cuaca, luka dan lupa kami bawakan dalam dalam katup di wajah larut. 

Tuhanku. Biarkan lilin di tangan Magdalena menemani kami sepanjang hari. 

Kami takut dan biarkan kami luput dalam tangan-Mu. 

Tepat pukul 12:12 WIT di balik etalase kaca itu, lilin di tangan Magdalena kau padamkan dan digantikan dengan wajah matahari yang sedikit menyingsing di sela warna-warni langit di atas pohon Cemara yang Pernah diduakan Cemara lainnya.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun