Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Liberandal

13 Juni 2020   23:48 Diperbarui: 13 Juni 2020   23:43 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:images.kontan.co.id

Liberandal. Kata yang terlontar keluar dari mulut seorang sales kopi. Dia bercerita panjang lebar. Samudji mendengarkan dengan sabar.

Masa pandemi menyebabkan suasana warung Samudji lebih sering lengang. Daripada lengang dan sendirian, lumayanlah mendengar uneg-uneg seorang yang lebih sering berkeliaran. Secara tidak langsung jadi tahu perkembangan.

Sales yang datang belakangan ini kebanyakan sales baru tapi bekas. Bekas sopir travel, bekas tukang bersih kamar hotel, ada juga yang bekas tukang las pagar. 

Sales kopi yang sedang didengar uneg-unegnya adalah juga sales bekas. Entah bekas apa, Samudji sedang mencari tahu. Si sales menyuruhnya menebak. 

Sales kopi itu baru saja mendapat keluhan. Keluhan dari toko kecil yang tidak mengerti mengapa harga jualnya berbeda dengan toko besar yang berada di dekatnya. Hingga beberapa pelanggannya berpaling.

Si sales hanya menjelaskan sebatas pengetahuannya yang tercurah dari kantor tempatnya bekerja. Lebih dari itu dia tidak mengerti lagi.

Samudji yang mendengarkan juga menimpali dengan problemanya. Harga beberapa barangnya terjun bebas. Sementara dia beli saat harga sedang tinggi.

"Harga-harga berandalan," tiba-tiba si sales kopi nyeletuk. Kemudian melanjutkan dengan paparan yang legit. 

"Dulu ada yang namanya preman. Tukang palak. Tampangnya seram. Yang tidak serampun, diseram-seramkan. Suara dikencang-kencangkan." 

"Sekarang preman-preman itu, berubah rupa menjadi harga-harga. Bahkan lebih parah dari preman itu sendiri. Bolehlah preman berteriak kencang-kencang. Menghardik dengan sangar. Namun yang kena cuma seorang dua orang saja." 

"Kalau harga mengamuk? Kalau harga berteriak? Semua kena. Sampai ke pelosok kena. Bahkan sampai melenyapkan kepulan asap dapur. Parah!"

Samudji memandang erat si sales. Paparannya menohok. Rupanya si sales bukan sekedar sales. Dia rupanya memahami jauh menembus sekat-sekat ketidaktahuan.

"Maksud tuan Seles, seperti apa ya? Saya tambah tidak mengerti. Apa hubungan preman dengan harga-harga itu?" tanya Samudji sambil mulai menyisipkan panggilan sanjungan kepada si sales.

"Ah itu cuma perumpamaan saja. Saya rasa bapak sudah mengerti. Setidaknya sedang mengerti." 

"Preman itu sekarang diambil alih oleh harga. Yang menentukan harga pada awalnya bagus. Ada pernak pernik hukum ekonomi yang berlaku di sana. Bagus. Bahkan sangat bagus." 

"Kopi yang saya jual ini. Menurut pernak pernik hukum ekonomi, ada hitungannya. Modal untuk membuatnya berapa. Lengkap dengan biaya kirim dan orang-orangnya. Maka akan keluar harga jual. Iya sesederhana itu. Kalaupun akan ribet, paling-paling hanya menentukan berapa harga yang tepat dari pesaing produk sejenis." 

"Bapak Sam tentu juga tahu apa-apa yang rusak itu selalu ada campur tangan manusia. Produk apapun itu, diciptakan dan dibuat oleh mental dan karakter manusia yang bagus. Namun digunakan oleh manusia bermental dan berkarakter sebaliknya. Apa yang terjadi? Bisa ditebak bukan?" 

"Saya menyebut harga-harga itu adalah harga berandalan. Agar lebih dipahami, lebih pas lagi kalau saya sebut harga liberandal. Sistem ekonomi liberal dengan manusianya yang berandalan."

"Jangan dikira berandalan seperti di pojok-pojok pasar itu. Mereka orangnya bersih. Sehari mandi dua tiga kali. Berdasi dan berparfum. Kaki dibungkus sepatu mengkilap. Namun mentalnya, karakternya masih jauh ketinggalan. Tidak ikut dibersihkan. Tidak ikut dikilapkan. Mentalnya buram. Bahkan banyak yang sudah usang dan bobrok." ujarnya kali ini dengan tatapan yang tajam.

"Apa sekiranya yang menyebabkan semua ini terjadi? Bapak Sam tahu? Mereka itu, berandalan berdasi itu pada dasarnya semua takut mati. Takut kelaparan. Takut tidak pegang uang lagi. Iya itulah yang menjadi sebab!" ujarnya bersemangat.

"Bapak Sam takut mati? Takut kelaparan?" 

"Iya..iya.. jelaslah saya takut mati. Takut kelaparan. Kecuali Belanda datang lagi.. Hehe..," sahut Samudji bercanda.

"Lalu mengapa dengan situasi sekarang, masa pandemi ini Bapak Sam tidak menimbun kebutuhan pokok? Agar bisa menaikan harga karena barang hanya bapak yang punya?"

"Oh..tidak mungkin itu terjadi. Itu perlu dana yang sangat besar. Apalah saya ini," sahut Samudji ringan dengan nada yang berat.

"Kalau seandainya bapak Sam punya uang yang banyak? Apakah itu akan terjadi?"

Pertanyaan yang benar-benar mengorek isi hatinya. Si sales sudah berbusa-busa menceramahinya. Dia tidak mau mengolesinya dengan ketidakjujuran.

"Bisa jadi...," sahut Samudji pendek.

"Menimbun dan kemudian menentukan harga seenaknya?" kejar si sales mirip penyidik. 

"Boleh jadi...," sahut Samudji lugu.

"Nah itulah sejatinya yang sedang terjadi di negeri kita. Bahwa hampir sebagian besar berkarakter dan bermental semirip itu. Bapak Sam tenang saja. Karena sepertinya saya juga akan begitu kalau ada di posisi itu..hehe..," ujarnya terdengar ringan.

"Trus sekarang bagaimana cara menangani itu semua. Cara melenyapkan mental saya yang ketahuan bobrok itu?" tanya Samudji serius mengaku. 

"Bapak Sam tadi sempat bilang ada beberapa harga barang yang terjun bebas. Bapak tahu apa sebabnya?" 

"Iya.. Saya tahu. Saya mendengar itu dari tivi. Pemerintah melakukan intervensi."

"Nah itulah yang seharusnya terjadi. Cuma negara lambat hadir untuk melindungi rakyatnya dari preman liberandal itu," sahut si sales sembari melangkah meninggalkan Samudji.

"Negara lambat hadir? Ah tidak mungkin. Bukankah penyelenggara negara adalah orang-orang yang juga berdasi dan berparfum? Mandinya juga dua tiga kali sehari? Kakinya juga dibungkus sepatu yang mengkilap? Ah...boleh jadi...tapi...ah masa iya aku hidup di negeri berandalan?" gumam Samudji sambil memperhatikan si sales yang sudah berlalu dengan sepeda motor berstiker 'brankot' brandal kota. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun