Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbakarnya Bilik Kenangan

13 Juli 2021   01:13 Diperbarui: 13 Juli 2021   01:17 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://p4.wallpaperbetter.com

Bulan Agustus masih kurang beberapa minggu lagi, tapi hembusan angin dingin mulai menyergap serta menebar dingin. Di halaman angin juga mematahkan ranting kering serta beberapa batang ubi kayu. Angin ini terasa beringas. Menumbangkan apa saja yang diterjangnya.

Belum lagi suara atap dari seng yang saling memantul, seperti suara teror kasar dari seseorang. Seorang lelaki yang menyalakan bara amarah. "Sebaiknya kau memang tak usah kembali," tiba-tiba batin Sandra menggedor, mirip suara pantulan atap seng yang dipermainkan angin.

"Aku yakin, kau tidak akan ke sini, tidak akan" gumam Sandra seperti mempertegas perlawanan. Sandra telah kehabisan kata maaf. Ia tak kuasa lagi menahan amarah. Nafasnya tersengal seperti sesak yang mendera. Wajahnya memerah. Kepalan tangannya seperti tak mau terbuka. Bibirnya terkatup emosi.

"Sungguh jika kau kembali, aku akan menghantammu lebih kencang dari pusaran angin ribut." Kemarahan Sandra sepertinya lebih membadai ketimbang hembusan angin. Betapa ingatannya seperti angin topan yang berpusar meliuk-liuk di atas kepala.

Kepalanya masih terasa berat, akibat tinju seperti palu godam menghujam tadi pagi. Bagaimanapun juga perempuan tak akan kuasa menahan pukulan di kepala. Akibatnya, mata sayu Sandra bukan lagi tatapan teduh, melainkan sebuah tatapan dendam yang membuncah di ubun-ubun.

Perempuan yang biasanya hanya menangis di atas tempat tidur itu kini semakin berani. Tak hanya dengan seorang lelaki yang baru saja menjadi bosnya, tapi juga dengan Rendi, suaminya sendiri.

"Ternyata kau ini murahan" seru Rendi menusuk telinga Sandra. Lalu lelaki itu meninggalkan Sandra yang masih kusut menahan sakit. Mulutnya terus mengumpat. "Perempuan najis" umpat Rendi seraya menghidupkan sepeda motornya. Sandra membiarkan suaminya pergi. Mungkin begitu lebih baik menurutnya.

Rendi seperti terpukul saat mengetahui dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana Sandra begitu lemah dan terdiam saat diraba-raba tubuhnya oleh Johan, seorang bos pabrik garment yang sedang tenar bak sultan di televisi.

Sandra tak menyalahkan siapapun. Secara fisik tentu ia kalah tanding. Tapi ini bukan pertandingan menang atau kalah. Tak melawan bukan berarti lemas dan menyerah seketika. Mana mungkin ia bangkit memberi perlawanan jika pukulan telak itu mengenai kepalanya terlebih dahulu.  

Maka saat Johan meraba tubuh Sandra sebenarnya yang membara amarahnya buka hanya Rendi, tapi seluruh lekuk-lekuk tubuh Sandra. Seluruh jiwa Sandra, dan seluruh batin Sandra. Harusnya Rendi tahu itu, tapi justru Sandra yang terluka tidak memperoleh perlindungan.

Kini, di dalam kamar yang semakin redup, angin malam masih belum lelah menghembus kencang. Pertengan bulan Juli yang tak terlupakan. Dimana berita-berita menyajikan serangan angin badai yang menumbangkan pohon-pohon serta merusak beberapa bangunan.

Hanya orang konyol saja yang masih ingin keluar rumah di saat cuaca ekstrem seperti ini. Tentu keyakinan Sandra semakin kuat bahwa Rendi tak mungkin pulang. Apalagi masih banyak tempat-tempat hiburan yang mulai buka malam. Minum minuman keras. Bersenang-senang dengan perempuan nakal, atau melampiaskan kemarahan entah dengan apa dan di mana.

Sampai malam menjadi dewasa, Sandra membiarkan jendela di kamarnya terbuka. Angin malam silih berganti bertamu padanya. Tubuh ringkih berjaket itu akhirnya terbaring lemah di atas tempat tidur. Matanya terpejam sedang sibuk membuka pintu mimpi.

Dalam mimpinya, Sandra bertemu dengan bilik-bilik yang menyimpan kenangan semasa kecilnya. Ia jumpai teman bermainnya saat di kampung. Teman itu masih membawa tali karet yang selalu menjerat kaki Sandra saat bermain lompat tali.

Ada juga teman sekolahnya bernama Didik. Teman beda kelas ini dulu naksir berat dengan Sandra. Tapi, sayang perangainya buruk. Selain terlalu posesif, Didik juga selalu memaksa Sandra untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Jika tidak mau, maka Didik akan memukul kening Sandra dengan buku pekerjaan rumah.

Di bilik itu pula Sandra baru menyadari bahwa selama ini Ibunya hanya melampiaskan amarahnya saat ayah pulang dalam kondisi mabuk berat. Ibu sudah kehabisan kata-kata. Mungkin juga ibu sudah sering menerima pukulan dari ayah. Keluarga macam apa ini? Sandra tertegun dan menutup bilik itu rapt-rapat. Ia tak ingin melihat kenangan buruk saat ayahnya menyumpal mulutnya dengan kain hanya gara-gara tagihan SPP sekolah.

Justru yang menyakitkan hati Sandra adalah ketika bilik kenangan semasa kuliah, dimana Riko yang menjadi pacarnya saat itu hanya obral janji  untuk menikahinya. Nyatanya beberapa kali Riko melampiaskan syahwatnya. Merenggut keperawanan serta membuang cinta begitu saja usai seremonial wisuda. Alasannya sederhana, sudah tidak ada kecocokan lagi.

Tubuh Sandra kian beku. Malam kian gigil. Pagi segera mengambil alih waktu dan kesempatan. Sebelum terbangun, Sandra terhenti pada bilik mungil. Bilik yang masih baru. Masih basah seperti baru dibangun. Di dalamnya terlihat Johan berteriak minta api dipadamkan. Sebaliknya api kian membara dan mengembanglah senyum Sandra.

Pada bagian bilik terakhir, terdengar desis seperti suara ular yang sedang sigap. Sandra tak paham kenangan apa yang terjadi dibilik itu. Ia tak merasa memiliki kenangan yang demikian menakutkan, menjijikkan serta mengejutkan.

Boleh jadi karena hatinya hancur. Jiwanya tercerai berai. Cintanya terluka. Beban perempuan yang teramat berat. Semua kenangan telah dijalani. Tapi, bilik terakhir ini tiba-tiba terpampang begitu saja di hadapannya. Mengejutkan sekali, hingga tubuhnya kaku tak bergerak. Kulitnya mulai bersisik. Matanya memerah. Senyumnya sinis nampak gigi-gigi kecil yang runcing.

Di bilik yang terakhir itu sebuah bayangan merah menyala mendekati Sandra, "Ambilah api ini, bakar semua bilik kenanganmu. Sekarang!" pinta bayangan itu.

Sandra meraih api itu. Kini tangan perempuan  itu bagai obor yang berkobar-kobar. Ia bakar satu-persatu bilik kenangan itu hingga membara hebat lalu menyisakan abu dengan kepulan asap mengangkasa. Semakin berkobar apinya semakin mendesis suara dari mulutnya. Lidah Sandra menjulur-julur seperti ular. Mendesis lagi. Membakar lagi dan seterusnya.

Kobaran api masih membara, kini di depannya ada sebuah pintu. Ia belum membakarnya. Karena mungkin itu jalan keluar dari segala kepedihan ini. Namun ternyata tidak, tiba-tiba ada suara menggedor dari luar. "Sandra sayang, aku pulang, bukakan pintu dong sayang" pekik Rendi dengan nada mabuk berat.

 Api di tangan Sandra masih membara, menjilat-jilat pintu hingga terbakar. Lambat laun pintu itu terbakar dan mengelupas menjadi arang. Di balik pintu sekujur tubuh lelaki sedang dilahap api. Jilatannya tak mampu dipadamkan oleh papun. "Minuman keras bukan pelarian, rumah adalah tujuan pulang, sebab manusia hakikatnya berpulang" sebuah bisikan misterius diterima telinga Sandra.

"Ssssstt......Ssssssstt......" Sandra hanya mendesis lalu mengelupas kulitnya dan menyelinap diantara kaki tempat tidur keluar bersama hembusan angin yang halus.


SINGOSARI, 13 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun