Respati menahan matanya supaya tidak tertidur, ini perjuangan berat melawan kantuk. Lebih berat ketimbang melawan pendekar Mata Macan.
Matanya terus membelalak, sampai sebuah embun menetes dari celah-celah atap rumbia. Tetesan embun tepat mengenai bagian tengah cekukan diantara dua mata. Perlahan embun itu merayap ke kanan dan kekiri di sudut kedua mata.
Tampak bayang-bayang istrinya melambai-lambai. Respati hanya memandangi saja. Air mata dan embun tak terasa menyatu. Membentuk energi baru yang membangkitkan tubuh Respati. Sungguh ini kebesaran Tuhan, pikir Respati.
Respati bangkit dan melihat lawannya masih tergeletak. Pesan gurunya: "Jangan melawan orang lemah, musuh yang lemah dan amarah yang sudah padam"
Dihampiri tubuh lawannya. Mencoba untuk memapah supaya berdiri. Namun sia-sia. Pendekar itu tak berdaya, mulutnya mencoba untuk berbicara. Meski pelan tapi Respati menyimak seksama.
"Kita terlahir tanpa jurus, dan mati tak membawa jurus" kata terakhir pendekar Mata Macan sebelum menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kali. Pada akhirnya Respati menyadari bahwa hidup adalah kembali kepada Tuhan. Apa yang ia pelajari adalah bentuk kasih sayang untuk tubuhnya. Bukan untuk melukai.
Respati telah memperoleh jurus pamungkas seperti yang dituturkan gurunya: "Kasih sayang adalah jurus pamungkas yang datang dari Tuhan, jika kau sudah sampai disana, melihat purnama seperti melihat kekasihmu."
Pendekar Mata Macan akhirnya dikubur di belakang rumah Respati. Tak ada penanda apapun diatas kuburnya. Juga temaram purnama diatasnya.
SINGOSARI, 7 Desember 2020