Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cubitan Dibalas dengan Cubitan

12 Oktober 2020   00:43 Diperbarui: 12 Oktober 2020   19:51 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://asset.kompas.com/

"Gedebhuk......" suara tubuh Mbok Saripah terbanting di lantai. Rupanya ia terpeleset.
"Aduh Mbok kapok...jangan cubit adik Mbok" sergahku saat sekujur tubuh ini dicubiti Mbok Saripah tanpa ampun.
----------**********----------
Kini aku menjadi murid sekolah dasar. Apakah Mbok Saripah berhenti mencubitku saat duduk di bangku SD? 

Dia mulai kewalahan dengan perlawanku. Aku mulai mengatur strategi. Keberanianku terpupuk dengan baik. Semua cubitan yang pernah mendarat di tubuhku harus dibalas. Cubitan dibalas dengan cubitan. Demikian semboyan yang tertanam dalam pikiranku.

Mbok Saripah mencubit kupingku saat tidak mengecilkan suara televisi. Rupanya ia sedang menerima telepon dari desa. Maka, usai menerima telepon, kubalas cubitan itu. Mbok Saripah pandai menghindar, aku gagal dan pergi dengan segala rasa dendam. "Huh awas kau Mbok, suatu saat akan kubalas" batinku bergejolak. Tapi ibu selalu menasehatiku, "Makanya kamu jangan nakal, kasihan Mbok Saripah capek mengurus kamu seharian."

Kemenangan sementara ada di Mbok Saripah. Aku menurut kata ibu. Lagi pula kebiasaan mencubit Mbok Saripah agak berkurang. Tidak sesering dulu. Mungkin karena kita (aku dan Mbok Saripah) hafal dan lihai menghindar.
-----*****-----
Kini aku telah duduk di bangku SMP. Meski semakin berkurang frekuensi mencubit, tapi terkadang Mbok Saripah tetap mencubitku walau ada kesalahan kecil yang kulakukan.

"Kesalahan kecil? merokok kok kesalahan kecil!" bantah Mbok Saripah saat mengetahuiku merokok di dalam kamar. Mbok Saripah tanpa ampun mencubiti bibirku hingga monyong kedepan. Seluruh saku seragam digeledah. Berharap menemukan satu pak rokok yang gagal kunikmati. Lalu beralih membongkar seluruh isi tasku. Memeriksa jajaran buku di rak. Merogoh berbagai sudut lemari di kamar. Menyalakan senter dan menyorot apapun di bawah ranjangku.

"Awas, kulaporkan pada ibu, biar dimarahi kamu!" ancamnya memanaskan kuping. Dadaku berdebar. Nyaliku menciut. Jangan-jangan ibu akan marah besar tentang hal ini. Lagi pula ayahku bukan perokok. Sialnya lagi kenapa pula kuhisap rokok itu di rumah. Padahal tadi sudah janjian di tepi sungai bersama kawan-kawan. "Ah nasib, bodohnya aku ini" gumamku sendirian.
-----*****-----
Bukan aku jika tidak nakal. Juga bukan aku jika tidak bengal. Ibuku bekerja dari pagi hingga sore hari. Begitu juga ayahku. Aku anak tunggal. Semua kebutuhan tercukupi. Bagiku rumah adalah tempat menyenangkan melepas penat. Kecuali Mbok Saripah yang rajin mencubit setiap saat.

Maka, begitu Mbok Saripah pensiun dan sakit-sakitan, aku diajak menjenguk oleh orang tuaku di sebuah desa terpencil. Saking jauhnya, aku bahkan tertidur selama perjalanan. Lagi pula buat apa seorang asisten rumah tangga dijenguk segala.

"Dia kan sudah lama tak bekerja di rumah kita bu?" tanyaku pada ibu saat perjalanan.
"Huussst, nggak boleh begitu, dia yang merawatmu sejak bayi, harusnya kau berterima kasih padanya" bantah ibu seraya menjelaskan rinci.
"Terima kasih atas cubitannya kali" jawabku seenaknya. Mendengar apa yang kukatakan demikian ibu spontan memberi hadiah tamparan kecil di mulutku.
"Ibu nggak suka kamu ngomong ngawur" bentak ibu meredakan amarahku. Tapi aku menjadi acuh dan kembali melupakan cubitan Mbok Saripah dengan cara tidur.

Sampai di rumah Mbok Saripah kulihat banyak orang yang duduk melingkar. Mereka mengaji di dekat tubuh Mbok Saripah yang terbaring tak berdaya itu. Sepertinya Mbok Saripah sakit serius dan ini masa-masa kritis baginya. Semua terlihat pasrah. Hanya bisa berdo'a. Namun, aku hanya ikut-ikutan apa yang dianjurkan orang tuaku. Ikut duduk mengaji sambil sesekali memandangi wajah keriput yang semakin pucat itu.

Usai mengaji pikiranku melayang kembali ke masa lalu. Memang benar kata ibu, Mbok Saripah ini telah berjasa merawat dan menjagaku. Meskipun berbagai cubitan telah kurasakan. Setidaknya aku bisa sebesar ini karena Mbok Saripah. Orang yang menyuapiku, membuatkan susu serta menemani saat ditinggal orang tuaku bekerja.

Entah syetan mana yang tiba-tiba merongrong kepalaku. Meski tubuh Mbok Saripah telah terbaring lemas, aku justru punya pikiran ingin membalas seluruh cubitan itu di masa-masa akhir hayat Mbok Saripah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun