Aku harus ke kota itu sebelum gelap menyergap. Apesnya lagi, tentang kota ini aku sangat gagap. Tak ada saudara yang bisa kuanggap. Namun, tugas memaksaku harus sigap, kemana saja tidak boleh meratap.
Perjalanan menggunakan bus lebih cepat. Tapi mengapa justru bus berjalan melambat. Tiba-tiba kakiku terasa berat, entah berapa jauh bus itu telah lewat, kepalaku sangat pening serta penat, melihat apapun semakin pekat. Aku mulai lupa kemana arah barat.
Kemudian aku melayang menyendiri, menyusuri kota mati, sepi dan sunyi, lampu-lampu tak menyinari, entah kota apa ini, suara hewanpun ikut bungkam diri. "Jadi hanya aku saja ini?," gumamku getir memungkiri.
"Nggak, kamu nggak sendiri!,"Â tiba-tiba ada suara tanpa raga. Kepalaku otomatis menoleh ke kanan dan ke kiri. Bingung, tak ada siapa-siapa.
"Siapa kamu?, apa benar aku tidak sendirian?,"Â tanyaku penuh cemas.
"Aku adalah Aku, teman-temanmu banyak, mereka ada di gunung itu. Bukankah kamu mau kesana?."
"Ya benar, aku harus kesana, tapi aku tak mengerti mengapa harus kesana, aku patuh terhadap tugas,"Â jawabku.
"Ketahuilah, kau mati bersama bom, di dalam gunung itu siksamu menanti, kau akan berulangkali meledak, bukan dengan bom, tapi dengan gunung berapi. Kau paham?"
Tubuhku bergetar hebat dan melesat mengarah ke gunung itu. Aku berteriak memanggil bus yang mengangkutku ke kota ini. Tapi rupanya bus itu sudah hancur lebur. Polisi dan masyarakat berbaur menyelamatkan korban. Mereka tak mendengar teriakanku. Aku tak bergerak lagi, diantara bumi dan langit. Menatap sesal jauh ke langit. Bidadari-bidadari mengolok dengan nista. "Yaaah, kamu tertipu!" seloroh mereka. Kini giliranku masuk ke dalam gunung. Blarrrr!!!
Malang, 14 Juni 2019