[ulasan ini ditulis dengan bahasa yang gamblang. Bagi yang kurang berkenan/tidak nyaman tolong diskip saja. Terima kasih]
Berhubung judul buku ini sedemikian "mengundang" maka saya akan menyelotehkan buku ini langsung ke bagian kesimpulannya dulu. Yakni, "apakah judul buku ini lebih ke untuk pemasaran/ala-ala click bait kalau di media online?" jawabannya iya. Tapi kalau ada pertanyaan tambahan, "jadi bukunya hanya sekadar cari judul bombastis biar laku ya?" maka jawabannya nggak! bukunya padat dan daging banget!
Nama Ester Pandiangan sudah sering saya dengar. Buku-buku yang ia tulis memang banyak bicara soal seks. Misalnya saja Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin atau Akibat Menabukan Seks. Namun, untuk perkenalan (pas banget Mojok ada diskonannya beberapa waktu lalu) saya pilih dulu buku Sebab Kita Semua Gila Seks ini.
Sesuai judulnya, ya isinya memang soal seks. Tapi apakah yang dibicarakan melulu soal hubungan ranjang? oh tentu tidak. Ada banyak aspek lain yang disinggung. Ya dari segi sosial, segi kepercayaan adat bahkan ada juga segi mistisnya.
"Laki-laki selingkuh wajar, kalau perempuan selingkuh kurang ajar." Hal.29.
Nah, yang model begini kan harus diakui masih banyak "diyakini" oleh masyarakat kita. Saya bahkan pernah dengar ucapan semacam ini dari orang tua yang anak perempuannya diselingkuhi oleh si suami. Gak habis pikir, bukan?
Soal perselingkuhan (dan tentu saja larinya urusan ke selangkangan) dewasa ini ya dibumbui dengan selimut agama. (if you know what I mean), dan saya sih sebagai pria ya, masih berpegang teguh bahwa aksi itu sedemikian menjijikkannya (bahkan berharap di neraka ada sudut tertentu untuk orang-orang tukang selingkuh ini).
Lalu, di bab lain penulisnya berseloroh panjang, "Menoleh ke belakang, sejarah mencatat kalau seksual manusia sudah 'gila' dari dulu. Cleopatra menggunakan vibrator yang diisi lebah untuk memuaskan hasrat seksualnya."
"Peradaban kuno lainnya seperti di Sumeria (sekarang Irak bagian selatan) menjadikan masturbasi sebagai perayaan. Di Mesir kuno, masturbasi para dewa dianggap aktivitas yang magis. Dewa Atum disebutkan menciptakan alam semesta dengan masturbasi, dan pasang surutnya Sungai Nil dikaitkan dengan frekuensi ejakulasinya." Hal 15 dan 16. Wow, menarik bukan?
Lalu, pembahasan seputar penyakit kelamin juga disampaikan dengan begitu lugas dan tetap informatif.
"Jangan sama dia terus, harus ganti-ganti." Hal.160.
Bayangkan, di saat kita semua (rasanya begitu) tahu pentingnya melakukan hubungan setia untuk menghindari penyakit kelamin, masih di Indonesia, di sekitaran Sentul sana, masih ada orang yang meyakini kalau gak mau kena penyakit kelamin malah harus sering berganti pasangan. Gila!
"Saya sering mendengar seputar mitos mencegah Infeksi Menular Seks (IMS), tapi baru kali ini mendengar mitos yang salah kaprah sekali apalagi dijawab dengan penuh keyakinan." hal.160.
Jadi, memang PR edukasi seksual di negeri ini masih sangat panjang. Apalagi, sebagian masyarakat masih menganggap tabu obrolan seputar seks ini padahal di negara maju, tindakan pencegahan kekerasan seksual atau pun aktivitas seksual sudah diberikan sejak dini. Orang tua yang menganggap tabu, merasa malu membahasnya dengan sang anak, sayangnya banyak juga yang kemudian abai sehingga sang anak mencari informasinya dengan cara dan dari orang yang salah. Tak sedikit anak yang jadi korban kekerasan seksual dikarenakan ke-tabu-an para orang tuanya ini.
Sekali lagi, ini bukunya terasa begitu daging. Bagaimana tidak, penulis butuh 20-an buku lainnya yang ia jadikan referensi sebelum menulis dan melahirkan buku ini.
Buku ini memang bukan bacaan yang cocok bagi semua orang. Dan, ya tentu saja usia dewasa saja yang ideal membacanya. Namun, dibandingkan buku lain yang menawarkan judul bombastis (katakanlah Jakarta Undercover series), jelas tulisan Ester Pandiangan ini jauh lebih baik dan lebih berfaedah bagi saya yang telah membacanya.
Skor 8,8/10