Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Saat Harus (Kembali) Merasakan Ramadan di Rumah Sakit

5 Mei 2020   12:27 Diperbarui: 5 Mei 2020   12:32 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di situasi normal saja, saya tak pernah suka dengan rumah sakit. Tempat ini lebih banyak menyisakan kenangan kurang menyenangkan ketimbang sebaliknya. 

Kayaknya, saya baru hepi ke rumah sakit saat menjenguk kerabat yang habis melahirkan, itupun saat ibu dan bayi sehat. Selebihnya, baik untuk berobat atau menjenguk orang sakit, keadaannya pasti tak lebih menyenangkan saat perjumpaan di tempat lain.

Nah, saat covid-19 ini, lebih-lebih deh saya menghindari rumah sakit. Sayangnya, qodratullah, saya dan keluarga harus kembali berurusan dengan rumah sakit pasca hari Minggu lalu, ibu saya ditemukan tergeletak di dapur rumah sambil menjerit kesakitan merasakan ngilu hebat di sekitaran pinggul dan paha.

Tanda-tanda Sakit yang Sama

Beberapa hari sebelumnya, pasca sahur dan ke kamar mandi, tiba-tiba saja ibu tertatih-tatih merasa kesakitan pada kaki kanannya. Saat itu, saya yang berada di ruang TV masih dapat menghampiri dan memapah hingga ke tempat tidur.

Kaki yang sakit langsung diolesi balsem dan langsung disinari pakai lampu kesehatan. Keadaan nampak membaik hingga saat saya tinggal tidur pasca subuh, ketika bangun pagi harinya, saya melihat ibu sudah beraktifitas seperti biasa di dapur.

Eh tahunya kejadian sama berulang. Minggu pagi, saat kami semua masih tertidur dan ibu beraktifitas di dapur, tiba-tiba kakinya kumat. Tahu-tahu saja beliau sudah tergeletak dan menangis kesakitan. Melihat sakitnya lebih parah, kami memutuskan untuk membawa ke UGD sebuah rumah sakit langganan di Palembang.

Ibu terbaring lemah saat di UGD. Dokpri.
Ibu terbaring lemah saat di UGD. Dokpri.
Saat itu ibu hanya ditemani ayah. Saya sih berharap, setelah dirawat dan dikasih tindakan (suntik dan obat) nyeri akan berlangsung hilang dan ibu dapat kembali pulang. Nyatanya, sekitar pukul jam 9 pagi saya (dan juga semua anak-anaknya yang lain) disuruh kumpul kumpul ke rumah sakit. Aduh, perasaan saya jadi gak enak.

Benar saja, dokter memutuskan agar ibu diopname. Siang itu juga beberapa tindakan dilakukan seperti rontgen. Pihak rumah sakit sangat ketat di masa pandemik. Hanya ada satu orang yang boleh menunggui di UGD (eh bisa jadi itu peraturan lama, tapi masih ada toleransi. Hanya, di saat sekarang no excuse!)

Saya sempat mengabadikan backpack yang akan saya bawa ke RS. Dokpri
Saya sempat mengabadikan backpack yang akan saya bawa ke RS. Dokpri
Sekitar pukul 3 sore saya disuruh pulang dan disuruh mengambil perlengkapan untuk ibu opname. Bak ingin traveling lama, semua keperluan (pakaian, handuk, mukenah dan sajadah hingga perlengkapan makan) saya masukkan ke backpack yang biasa saya pakai untuk traveling. Tadinya mau saya tempatkan di tas "cantik" namun karena ukurannya kecil, saya pilih pakai backpack saja. Lagian, lebih praktis saya bawa dengan menggunakan motor.

Saya juga menyiapkan bekal berbuka puasa. Lauk sisa sahur saya panaskan, beberapa makanan kami beli dan beberapa gelondong pempek saya goreng untuk dimakan di rumah sakit. Naas, di kamar rawat lagi-lagi saya dan adik tak diizinkan masuk. Saya minta waktu untuk makan bersama saja tapi petugas cukup tegas.

"Padahal di kamar tidak ada pasien lain, hanya ada ibu sendiri," coba rayu saya. Tapi tetap tak berhasil. Ya sudahlah, peraturan tetap peraturan. Jadilah saya dan adik berbuka puasa di ruang tunggu yang senyap sambil ditemani nyamuk.

Berharap Ibu Segera Sembuh

Kemarin saya mendapatkan "jatah" untuk menunggui ibu dari pagi sampai sore. Di hari kedua, keadaannya masih memperihatinkan. Tiap beberapa menit dia menangis menahan sakit. Sialnya, saya hampir tak dapat melakukan apa-apa selain hanya memborehkan balsem dan obat dari rumah sakit.

"Jangan dipijit, ya, nanti syarafnya makin tegang," ujar dokter.

Beneran, gak enak nungguin orang sakit saat kita tak mampu berbuat apa-apa untuk mengurangi rasa sakitnya. Beberapa tahun lalu, juga di bulan Ramadan ibu pernah sakit dan harus bolak balik opname. Tapi, saat itu keadaannya cenderung lebih baik, minimal dia tidak harus menangis, meringis menahan sakit.

Sempat mengabadikan suasana sepinya RS di instagram. Dokpri.
Sempat mengabadikan suasana sepinya RS di instagram. Dokpri.
Tak ada prioritas lain di doa saya agar Allah Swt segera mengangkat semua penyakitnya agar ibu segera sembuh. Terlepas urusan domestik (memasak, mengurus rumah), keberadaan ibu itu pusat semesta di rumah. Tanpa dia, saya masih bisa makan dan rumah masih bisa rapi. Tapi, tanpa keberadaannya, semua terasa hampa.

Dan, saat saya mengetikkan tulisan ini, hal-hal berat di Ramadan kali ini masih berlangsung. Dan, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan di buku yang sedang saya baca. "Aku yakin, skenario Allah sedang bekerja padaku. Meski awalnya ada debaran-debaran ketakutan dan kekhawatiran, Allah menghapusnya dengan hal-hal mengembirakan dan melegakan."

Amin ya Rabbal alamin.

Penulis bagian dari Kompal
Penulis bagian dari Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun