"Yan, kok kita nggak nangis, ya?"
"Iya juga ya, apa karena kita kekurangan dosa?"
Lalu kami tertawa pelan.
Saya ingat betul, kurang lebih itulah percakapan yang saya dan seorang teman lakukan saat mengikuti acara Mabit (Malam Bina Ilmu & Takwa) di Masjid Agung Palembang saat SMA dulu. Ceritanya, kami berdua penasaran, apa sih kegiatan yang dilakukan saat Mabit. Secara, kami berdua sama-sama bukan anak rohis. Hehehe.
Namanya juga anak muda, ya! Spontan aja kami berdua ikutan gitu takkala tahu ada jadwal Mabit di akhir pekan yang dilaksanakan di Masjid Agung Palembang. Kegiatannya dilaksanakan dari Maghrib hingga subuh. Ya biasa sih, solat magrib, baca Alquran, solat Isya', mendengar ceramah agama, lalu tidur.

Nah, saat di sepertiga malam, kami dibangunkan oleh salah satu pengurus masjid. Disuruh ambil wudhu buat shalat tahajut bersama. Setelahnya, ada prosesi muhasabah atau juga proses introspeksi diri. Ya, katakanlah ini salah satu cara meminta ampun kepada Allah Swt dengan cara berdoa sambil membayangkan dosa yang telah diperbuat.
Saat itu lampu dimatikan. Dalam kegelapan, pemimpin solat berbicara sambil menangis tentang dosa-dosa. Orang sebelah, kiri-kanan, depan-belakang, semua pada nangis. Tinggal saya dan teman yang hanya diam sehingga tercetuslah percakapan tersebut hihihi. Sebagai informasi, itulah kali pertama (dan sepertinya yang terakhir) saya mengikuti kegiatan tersebut.
Yuk, Jelajah Masjid Agung Palembang
Masjid Agung Palembang merupakan hasil karya monumental Sultan Mahmud Badaruddin 1 yang dibangun pada tahun 1738-1748. Bertandang ke masjid yang telah berusia lebih dari 2,5 abad ini,tak hanya mengingatkan saya pada Allah SWT, tetapi juga pada keragaman budaya Palembang, sekaligus pengobat rindu akan kejayaan Kesultanan Palembang di masa lalu.

Rumput hijau terbentang sepanjang halaman Masjid Agung. Ada sudut tertentu yang ditanami dengan berbagai macam jenis bunga. Pohon-pohon rindang sejenis palem juga terlihat menghiasi taman sekaligus halaman belakang masjid Agung ini. Di kala penuh, halaman ini juga beralih fungsi sebagai lahan parkir.

Atap masjid Agung sendiri berbentuk limas yakni terdiri dari tiga undakan yang dipengaruhi bentuk candi Hindu-Jawa. Sedangkan sentuhan Eropa dapat terlihat pada pilar masjid yang lebar dan kokoh serta pemilihan rupa jendela yang tinggi dan besar. Bahkan material bangunan seperti marmer dan kaca di impor langsung dari eropa.


Menara lama berukuran 20 meter dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (pemerintahan 1758-1774) yang terletak di sisi barat masjid. Sedangkan menara baru dengan ukuran lebih tinggi yakni 45 meter dibangun pada tahun 1970. Menara dengan tangga melingkar dengan 130 anak tangga inilah yang masih digunakan hingga sekarang.Â
Sayang menara ini tertutup untuk umum. Padahal memandang kota Palembang dari ketinggian tersebut pasti akan jadi pengalaman yang istimewa.


Masjid Penuh sejarah
Tak hanya menjadi pusat kegiatan umat Islam, Masjid Agung juga menjadi salah satu bagian dari sejarah Indonesia. Sejak pertama kali di dirikan, Masjid Agung telah menjadi saksi penting dari banyaknya peristiwa bersejarah yang terjadi di Palembang. Misalnya saja di tanggal 1-5 Januari 1947 pasca Perang Dunia II, Masjid Agung adalah saksi dari terjadinya peristiwa yang dikenal dengan nama perang "Lima Hari Lima Malam".


Kharisma Masjid Agung kian berpijar. Sebagai salah satu peninggalan bersejarah yang perlu dilestarikan dan dijaga, masjid kebanggaan warga Palembang ini tidak hanya berfungsi sebagai rumah peribadatan umat Islam, tetapi juga sebagai bentuk konservasi bangunan kuno peninggalan kejayaan masa lalu yang patut dicontoh.Â
Semoga semua warga Palembang dan juga pendatang terus bersama menjaga masjid agung agar keindahan dan manfaatnya dapat terus dirasakan oleh generasi di masa yang akan datang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI