Jika diperbandingkan dengan rata-rata harga di kawasan, harga bensin kita, baik Pertamax maupun Pertalite, masih terhitung lebih murah. Karena masih di bawah rerata harga bensin di negara ASEAN yang berada di level US$ 0,77 per liter.
Bahkan, untuk solar atau gasoil, harga Indonesia di kisaran US$ 0,33 per liter (sebab masih subsidi). Harga ini masih terendah di tingkat ASEAN.
Sehingga kalau disimpulkan, posisi Pertamina ini serba tidak enak. Mereka digencet dari sisi hulu dan hilir migas akibat dari pandemi Covid-19 ini. Di tengah-tengah itu, mereka harus menjaga agar bisnis tetap jalan, sembari tetap mempertahankan fungsinya sebagai perusahaan milik negara.
Oleh karena itu, dalam situasi serba tidak menentu ini, Pertamina memilih untuk tidak menurunkan harga BBM. Ini bukan karena Pertamina rakus, atau ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya saat harga minyak jatuh, tapi justru karena pertimbangan rasional-logis seperti diterangkan tersebut.
Epilog
Dalam logika awam, minyak sering disamakan dengan komoditas umumnya. Sehingga saat harga dunia turun, maka harga minyak dalam negeri juga dituntut harus ikut turun. Ini seperti logika kulakan pedagang.
Masalahnya, bisnis minyak ini sangat berbeda dengan logika bisnis pada umumnya. Banyak kompleksitas yang tidak dimiliki oleh komoditas lainnya.
Oleh karena itu, cara melihatnya pun juga harus berbeda. Hal ini dengan mempertimbangkan kompleksitas tersebut, dan pastinya kondisi Pertamina secara umum.