Mohon tunggu...
Olivia Gabriela Gultom
Olivia Gabriela Gultom Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Bersekolah di SMA Negeri 1 Padalarang.

A mediocre.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu dan Labu Kukus

30 September 2022   17:22 Diperbarui: 30 September 2022   17:26 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi, aku makan sisa waluh kukus itu di samping langgar, tepatnya di depan teras rumah orang. Aku makan sebanyak-banyaknya sambil menangis. Tidak peduli dengan perutku yang sudah penuh dan kembung, seperti tinggal menunggu waktu sampai meledak. Intinya harus kumakan sampai habis.

Saat itu aku masih kelas 4 SD, dengan tubuh yang bisa dibilang kecil untuk ukuran sebayaku, kurus kering sampai sering dikatai cacingan. Kalian bayangkan saja perut kecilku harus menampung sekian banyak waluh kukus itu.

Karena perutku sudah tidak mampu lagi, aku putuskan untuk kembali ke rumah sambil membawa ember waluh yang tinggal separuhnya lagi. Airmataku tak henti-hentinya mengalir dari pelupuk mata. Perutku rasanya mau meledak, dadaku sesak, ditambah gelap gulitanya malam membuat kedua kakiku secara refleks berlari sebab aku ketakutan melihat keadaan sekitar yang sepi dan minim pencahayaan.

"Aaaah!!!"

Sepertinya keberuntunganku telah habis malam itu. Aku tersandung batu di samping parit yang terdapat banyak pohon pisang. Waluh kukus yang berada di ember, tumpah berserakan di mana-mana. Tanpa pikir panjang, aku membuang sisa waluh kukus itu ke dalam parit untuk menghilangkan jejak. Aku tidak bisa menahannya lagi, aku---

"Hueeek!"

Aku muntah. Makanan di perutku keluar kembali karena isi perutku yang berlebihan kapasitas. Tangisanku semakin menjadi. Mataku sembab, perutku mual sebab terbentur oleh aspal. Aku membersihkan pakaianku yang penuh dengan tanah dan kotoran.

Langkahku lemas, tatapanku kosong entah menatap apa. Dengan pasrah aku membawa ember kotor yang isinya sudah kosong. Aku takut dimarahi oleh Ibu kalau aku berbohong. Aku takut, walaupun aku tahu bahwa Ibu itu bukan orang yang pemarah. Tetapi, tetap saja, perasaan cemas ini menguasai pikiranku kalau Ibu akan kecewa dan marah.

"Gendis? Itu kamu, Nduk?"

Aku yang mulanya menunduk sontak mendongak, melihat siapa yang berbicara. Ternyata itu Ibu, sedang membersihkan pekarangan rumah. Langsung aku berlari mengejar Ibu dan tenggelam di dalam dekapannya, tak peduli dengan pakaianku yang penuh keringat dan coreng-moreng.

"Ib-Ibu... M-maafin Gendis, Bu..." Suaraku terbata-bata oleh karena isakan yang tidak bisa aku tahan lagi.

"Kenapa, Nduk...? Gendis, 'kan, gak punya salah, toh, ke Ibu... Ngapain minta maaf?" Ibuku yang belum mengerti keadaan mengelus-elus punggungku lembut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun