Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tahun Baru Imlek 2563 di Klenteng dan Gereja Tua Jakarta

23 Januari 2012   19:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gong Xi Fa Cai, bagi angpao-nya ci'", sapa seorang wanita paruh baya saat kaki melangkah memasuki Pertokoan Gloria, Glodok. Mungkin karena hari ini (23/01/12) bertepatan dengan Tahun Baru Imlek maka beberapa orang yang saya temui di kawasan Glodok menyapa dengan sebutan Cici, padahal dari segi tampang jauh banget. Perut yang mulai merajuk karena belum diisi dari pagi membuat kami memilih duduk di Kedai Amoy. Hmmm, wangi khas hio masih menempel di baju setelah berkeliling keluar masuk kelenteng dan gereja di sekitar Petak Sembilan, Pancoran Jakarta Barat selama hampir tiga jam saja. Tidak ada persiapan khusus untuk berkunjung hari ini, kesepakatan pun baru diputuskan menjelang pagi untuk mengantar seorang kawan yang hendak melihat dari dekat suasana imlek di vihara/kelenteng. Kami memulai  dari Klenteng Kim Tek Ie atau dikenal dengan Vihara Dharma Bhakti yang terletak di Jl Kemenangan III No 19, Petak Sembilan, Glodok. Konon kata Glodok diambil dari bunyi air pancuran "grojok-grojok" yang dialirkan dari waduk penampungan air kali Ciliwung. Pasca pembantaian terhadap etnis Cina pada tahun 1740, kawasan ini menjadi tempat bermukimnya orang-orang Cina di luar Benteng Batavia. Dharma Bhakti adalah vihara tertua dan terbesar di Jakarta serta yang paling ramai dikunjungi pada hari besar keagamaan dibandingkan dengan vihara/klenteng lainnya di sekitar Petak Sembilan. Antrian umat yang melakukan ritual agamanya berbaur dengan pengunjung yang ingin melihat dari dekat prosesi sembahyang yang dilakukan di klenteng. Panas yang disebabkan penuhnya pengunjung ditambah panas dari lilin-lilin yang dibakar serta asap hio yang memenuhi ruangan membuat satu per satu pengunjung yang tak terbiasa undur karena mata perih dan kepanasan. Suasana di luar juga cukup ramai dengan antrian warga tak mampu yang berkumpul sedari pagi menanti pembagian rejeki dari pengunjung. [caption id="attachment_165728" align="aligncenter" width="526" caption="Dominasi merah pada perayaan Tahun Baru Imlek di Dharma Bhakti (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Menghindar dari keramaian kami keluar dari Dharma Bhakti menyusuri Kemenangan III, minta ijin ke pak satpam untuk masuk ke pelataran Gereja Katolik St Maria De Fatima yang berada di kompleks Sekolah Yayasan Ricci. Sepasang singa yang terbuat dari batu berdiri di depan gedung yang dulunya adalah rumah seorang pedagang Cina kaya raya. Inilah bangunan gereja tertua di Jakarta yang juga pernah menjadi klenteng sebelum digunakan sebagai gereja pada 1954. Ternyata belum jodoh untuk melihat bagian dalam bangunan gereja bergaya Tionghoa ini karena sayup-sayup terdengar umat memuji dengan bahasa Hokkian dalam misa Tahun Baru Imlek. Salah satu bukti bahwa imlek tidak berhubungan dengan ritual agama tertentu. Dan memang kalau dilihat dari sejarahnya, perayaan imlek awalnya dilakukan oleh para petani di Tiongkok dengan menaikkan puji syukur kepada dewa-dewa dan leluhur setelah panen raya serta untuk mengawali musim tanam. Seiring perkembangan jaman, warga keturunan Tionghoa di seluruh belahan bumi pun merayakan Tahun Baru Imlek dengan cara yang beragam. Ada yang bersembayang di klenteng, misa di gereja atau pun sekedar berkumpul dan makan bersama keluarga besar. [caption id="attachment_165724" align="aligncenter" width="550" caption="Pintu St Maria De Fatima, Glodok (dok. koleksi pribadi)"]

1327343590662485757
1327343590662485757
[/caption] Masih di Kemenangan III tak jauh dari St Maria De Fatima, jejeran warga yang menanti rejeki di depan klenteng Toa Se Bio mulai terlihat memadati gerbang yang sempit.  Berbeda dengan Dharma Bhakti, di Toa Se Bio terlihat lebih sepi. Klenteng yang dibangun sekitar 1714 ini ikut dibakar massa pada saat terjadinya pembantaian etnis Cina tahun 1740, bangunan yang ada dibangun pada 1751. Jika kita berjalan hingga ujung Kemengangan III sebelum jembatan ada gang kecil ke kiri. Dengan menyusuri tepian kali kami memasuki halaman klenteng Kai Zhang She G Wang Mio (Vihara Tanda Bhakti) yang sepi. Tak terlihat akifitas sama sekali di dalamnya membuat saya serta merta duduk santai di lantai hingga dikagetkan dengan munculnya seorang anak lelaki yang tiba-tiba menyembah di depan saya. Upps, ternyata saya duduk membelakangi tungku perapian hehe. Di klenteng ini hanya ada tiga orang yang kami temui bersembahyang, setelahnya kesempatan untuk kawan saya berfoto narsis hehe. Ada satu hal yang membuat kangen saat datang ke klenteng ini, mencicipi bakmi yang biasanya mangkal di samping gerbang. Sayangnya hari ini Encie-nya libur. [caption id="attachment_165725" align="aligncenter" width="534" caption="Klenteng Kai Zhang She G Wang Mio/Vihara Tanda Bhakti yang sepi (dok. koeksi pribadi)"]
13273439211951105541
13273439211951105541
[/caption] Dari Tanda Bhakti  kami memotong jalan melalui gang-gang sempit menuju Jl Perniagaan melewati beberapa bangunan bergaya arsitektur Tionghoa yang masih tersisa. Di pojok Jl Perniagaan dan Perniagaan Barat terdapat dua bangunan tua yang saling berhadapan. Di sisi Jl Perniagaan Vihara Budhi Dharma (klenteng Lie Tie Guai) dan di depannya Toko Obat Lay An Tong. Kami terus berjalan lalu berbelok ke Gang Lamceng hingga bertemu dengan klenteng Kwan Tee Bio (vihara Ariya Marga). Berbeda dengan klenteng/vihara sebelumnya, di sini petugasnya lebih kaku dan tampak kurang bersahabat sempat melarang kita untuk masuk. Untung ada seorang bapak yang sedang bersembahyang mengajak kami masuk, namun demi menghormati tuan rumah saya pun permisi ke tiga orang engkoh-engkoh yang sedang berkumpul di satu meja pojok yang oleh petugas bersih-bersih disebut sebagai pengurus klenteng. Si bapak yang baik hati tadi, akhirnya mengajak kami berkeliling sambil bercerita sedikit tentang dewa-dewa yang ada di klenteng tersebut. [caption id="attachment_165726" align="aligncenter" width="559" caption="Klenteng Lie Tie Guai/ Budhi Dharma di Perniagaan (dok. koleksi pribadi)"]
13273442281319724414
13273442281319724414
[/caption] [caption id="attachment_165727" align="aligncenter" width="550" caption="Persiapan doa di klenteng Kwan Tee Bio/Vihara Ariya Marga (dok. koleksi pribadi)"]
1327344367294690887
1327344367294690887
[/caption] [caption id="attachment_165729" align="aligncenter" width="536" caption="Antri di Bakmi Amoy Gloria, Glodok (dok. koleksi pribadi)"]
1327345706955712850
1327345706955712850
[/caption] Tanpa terasa kami telah keluar masuk lima kelenteng dan satu gereja serta melewati kawasan Pecinan yang menyimpan banyak cerita sejarah yang tak habis jika hanya disusuri dalam tiga jam. Kami pun memutuskan untuk kembali ke Petak Sembilan sambil menyempatkan mengambil beberapa gambar di depan SMU 19. Di tempat ini pada 17 Maret 1900 didirikan organisasi Tionghoa modern pertama di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Lalu melewati rumah Kel Souw (keturunan Souw Beng Kong perintis kota Batavia modern) sebelum akhirnya tersendat di Kemenangan III menunggu arak-arakan barongsai yang tak lewat-lewat. Perjalanan pun berakhir dengan menyantap semangkok bakmi ayam Amoy, sembari membayangkan menyantap bakmi panjang umur di awal Tahun Baru Imlek 2563. [oli3ve]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun