Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Emansipasi Perempuan Tak Harus Kebablasan

16 April 2012   08:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tentunya sudah tidak asing dengan novel The Three Musketeer karya Alexandre Dumas yang juga sudah banyak diangkat ke layar lebar. Kisah persahabatan D’Artagnan dengan anggota Musketeers Athos, Porthos, dan Aramis di tengah pergolakan politik Perancis pada abad 17 . Bagaimana dengan La Femme Musketeer, apa anda pernah mendengar kisahnya?

Mengulang kisah ayahnya, Valentine D’Artagnan memutuskan untuk bergabung dengan pasukan kaveleri kerajaan Perancis musketeers. Dengan berbekal surat pengantar dan pedang sang ayah Charles de Batz-Castelmore D'Artagnan, Valentine berangkat untuk menemui Kapten Paul Mauriac pemimpin Akademi Militer Kerajaan Perancis. Kemunculan seorang perempuan cantik di tengah dunia lelaki masa itu dianggap sebagai lelucon. Namun ketika dia mampu menunjukkan keahliannya bermain pedang dan mengalahkan para lelaki di akademi, sang Kapten pun menerimanya dengan memberikan ujian dalam satu misi penyelamatan dan pengawalan Princess Maria Theresa anak Raja Spanyol calon permaisuri Raja Louis XIV yang diculik dalam perjalan dari Spanyol ke Perancis. Dalam perjalanan tersebut, Valentine bertemu dengan generasi kedua dari The Three Musketeers anak-anak sahabat ayahnya. Mereka pun akhirnya bersahabat dan bahu membahu menyelesaikan misi penyelamatan dengan baik. Itulah penggalan kisah dalam film La Femme Musketeers.

[caption id="attachment_182244" align="aligncenter" width="300" caption="Valentine & sahabatnya keturunan kedua dari The Three Musketeers (sumber gambar : film La Femme Musketeer)"][/caption]

Apa yang dilakukan oleh Valentine adalah salah satu bentuk gerakan protes kaum perempuan untuk menuntut pengakuan bahwa perempuan juga mampu mengemban tugas yang umumnya hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya bisa diselesaikan dengan baik walau harus melalui banyak rintangan yang membahayakan nyawanya.

Berbagai macam versi emansipasi perempuan bergulir di masyarakat hingga hari ini. Emansipasi (latin “emancipatio”) artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Di Indonesia sendiri, gerakan ini konon dipelopori oleh RA Kartini yang ide dan cita-cita luhurnya tertuang lewat surat-surat yang dikirimkan untuk para sahabatnya di Eropa. Walau sebenarnya masih banyak pahlawan wanita lain seperti Tjut Nyak Dien, Cut Meutiah, Rubiyah (istri Pangeran Samber Nyawa), Laksamana Malahayati dengan pasukan Inong Bale-nya atau Dewi Sartika yang juga bergelut di bidang pendidikan. Yang membedakan pergerakan mereka adalah Kartini tidak memanggul senjata dalam artian sebenarnya tapi berperang melalui buah pikiran yang diterbitkan dalam sebentuk buku oleh Abendanon.

[caption id="attachment_182245" align="aligncenter" width="578" caption="diorama sekolah Kartini di Museum Kebangkitan Nasional/ex STOVIA (dok. koleksi pribadi) "]

1334561085135975593
1334561085135975593
[/caption]

Tidak ada yang salah bila perempuan ingin maju dan mencoba berbagai macam bidang pekerjaan selama tidak membahayakan diri dan orang lain. Jika melihat perkembangan di sekitar kita; semangat emansipasi yang didengungkan oleh Kartini sudah melenceng dari nilai-nilai sebenarnya bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai “emansipasi kebablasan”. Perjuangan Kartini bukan untuk meminta menjadi laki-laki, tidak semata menuntut persamaan hak tapi Kartini membaktikan dirinya untuk kemajuan kaumnya dengan membuka sekolah putri atas ijin dan dukungan suaminya di kompleks kantor kabupaten dan mengajarkan mereka baca tulis, dengan tetap mengemban tugas sebagai seorang istri. Kartini terus belajar dan belajar dengan melahap berbagai macam bacaan berbahasa Belanda dari koran, majalah hingga buku-buku yang memberi inspirasi tanpa melupakan posisinya sebagai istri yang mendampingi suaminya bupati Rembang. Apa yang diperjuangkan Kartini adalah kebebasan kaumnya untuk mendapatkan kesempatan yang sederajat dengan laki-laki dalam menuntut ilmu, belajar dan berkarya (ditilik dari kondisi sosial perempuan Jawa masa itu) yang terperangkap dalam kultur/budayanya.

Lewat emansipasi peluang kaum perempuan untuk mengembangkan diri baik melalui pendidikan, keterampilan maupun pekerjaan terbuka lebar. Namun emansipasi jangan diartikan bahwa perempuan bisa berubah wujud menjadi sosok laki-laki karena pada dasarnya kedua jenis manusia ini diciptakan berbeda. Tuhan membentuk perempuan dari rusuk laki-laki tujuannya agar menjadi pendamping yang memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki sehingga mereka saling melengkapi. Tidak bisa dipungkiri saat ini banyak perempuan bekerja untuk mendukung ekonomi keluarga, tapi hal itu jangan dijadikan alasan untuk membebaskan diri dari fungsi dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga.

Ada satu pepatah inspiratif yang sudah sering didengungkan yang menyatakan,“Behind every great man there's a great woman.” Teruslah belajar perempuan Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi kehormatan. Perempuan harus maju, namun harus bisa menyikapi bentuk emansipasi dengan pengembangan pola berpikir yang terbuka secara bijak tanpa menyalahi kodrat dan jangan kebablasan.[oli3ve]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun