Ironisnya, pendidikan pun gagal menjadi benteng moral. Sekolah dan kampus yang seharusnya mencetak insan berintegritas, justru kerap mengajarkan kepatuhan simbolik tanpa membangun kesadaran etis. Agama diajarkan dalam bentuk hafalan, bukan keteladanan. Maka lahirlah generasi yang mampu mengutip ayat, tetapi tidak segan memanipulasi data.
5. Harapan: Menghidupkan Kembali Agama dalam Diri
Agama tidak akan mati selama masih ada individu yang menjadikannya cahaya batin dan bukan sekadar atribut luar. Menghidupkan agama adalah menghidupkan kembali kejujuran, empati, tanggung jawab, dan keberanian moral. Kebangkitan agama bukan terletak pada kebisingan seremonial, tetapi dalam sunyi tindakan yang jujur dan adil.
Penutup
"Agama Telah Mati" bukan vonis mutlak, melainkan metafora kritis untuk menggambarkan paradoks besar masyarakat kita. Ketika kejujuran, keadilan, dan cinta kasih telah disingkirkan oleh kepentingan dan simbol, maka agama yang sejati tengah dalam kondisi sekarat. Namun, harapan tetap ada. Ia tumbuh dalam pribadi-pribadi yang diam-diam memilih untuk jujur meski sendirian, adil meski tertindas, dan mencintai meski dibenci.
Catatan: Tulisan ini adalah ajakan untuk refleksi, bukan penghakiman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI