Belakangan ini, ada istilah yang lagi ramai di media sosial. Ya, Rojali. Istilah tersebut merupakan akronim dari rombongan jarang beli. Rojali menggambarkan orang-orang yang pergi ke mal, tapi tidak melakukan transaksi pembelian atau berbelanja.
Mereka datang ke mal bukan dengan tujuan utama berbelanja. Rojali datang untuk berbagai alasan. Misalnya, cari tempat adem, foto-foto buat media sosial, atau sekadar jadi tempat nongkrong murah meriah. Fenomena ini jadi perbincangan karena bikin paradoks: mal ramai, tapi penjualan malah seret.
Mungkin di antara kita pernah menjadi rojali, atau sengaja menjadi rojali? Jalan-jalan ke mal dan pulang cuma bawa kopi atau foto selfie.
Saya jarang ke mal. Bisa dihitung jari dalam setahun berapa kali ke mal. Kadang ke mal pun hanya pergi ke bioskop atau tukar voucher yang mau hangus. Setelah itu, sambil cuci mata saya keliling dari satu lantai ke lantai lain. Lumayan, olahraga jalan kaki di tempat ber-AC.
Mal terkadang seperti tempat hiburan yang murah meriah dari panasnya Jakarta. Tapi, kalau ditanya apa yang saya beli? Jawaban saya sering kali makanan atau bahkan tidak belanja sama sekali. Alasannya, lebih murah di online.
Mungkin yang seperti saya ada banyak. Sebenarnya ada banyak alasan kenapa kita sering ke mal tanpa niat belanja yang kuat.
Pertama, pelarian dari panasnya Jakarta. Di tengah teriknya kota Jakarta, mal menjadi oase nyaman di mana kita bisa berjalan santai tanpai keringat bercucuran. Kalau lapar tinggal pilih tempat makan yang sesuatu kantong. Sekarang banyak konsumen yang sudah cerdas dengan memanfaatkan berbagai voucher di media sosial. Kalau mau lebih murah lagi bisa makan di kantin mal. Lumayan murah dan enak.
Kedua, surga konten media sosial. Mal bukan cuma tepat belanja, tapi juga spot foto yang estetis. Terkadang ada beberapa acara seperti pameran produk, karya seni, atau acara khusus lainnya. Ini yang membuat orang ingin datang ke mal, namun jarang belanja. Dari mirror selfie sampai bikin vlog singkat di sekitar mal. Ini cocok untuk update media sosial kita.
Ketiga, menyediakan ruang terbuka hijau. Beberapa mal di Indonesia sudah mengadopsi konsep ruang terbuka hijau yang lebih menyenangkan bagi pengunjung. Ada taman hijau, kolam ikan, bahkan danau. Mal-mal yang seperti itu menjadi magnet bagi pengunjung yang mencari hiburan murah meriah, namun letaknya di pusat kota.
Keempat, daya beli yang bergeser atau terbatas. Realita ekonomi memang tak bisa dipungkiri. In this economy, prioritas pengeluaran lebih banyak ke kebutuhan pokok atau cicilan. Barang-barang non-esensial seperti baju baru atau gadget sering kali jadi prioritas terakhir. Ditambah lagi, godaan diskon dan gratis ongkir di platform online yang lebih menggiurkan. Ini membuat kita cenderung melihat barang di mal, tapi belanjanya online.