"Jangan takut tidak ada biaya, Allah selalu memberikan jalan rezeky-Nya untuk orang-orang yang menuntut ilmu" Pesan dari kyaiku yang selalu kuingat sampai saat ini.
"Kamu bisa, jika kamu berusaha. Percaya diri saja. Kamu bisa ko jadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri. Meskipun perekonomian kamu kurang. Tapi percayalah, Allah maha kaya, ibu pun kuliah tanpa biaya orang tua ya walaupun harus dagang di sekitar kampus dan sekolah naik sepeda. Dan alhamdulillah ibu bisa menyelesaikan kuliah tanpa minta dengan orang tua" pesan dari salah satu guru bahasa Indonesiaku di Madrasah Aliyah dan juga alumni mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri.
"Bapak percaya, kamu itu anak pintar. Pergunakan kepintaran kamu untuk menjadi anak yang sukses. Rajin-rajin mencari informasi beasiswa dan bergaulah sama orang yang selalu mengajak kebaikan" dan ini juga salah satu pesan dari guru sejarahku yang juga alumni mahasiswa di Peguruan Tinggi Negeri.
Selama mengikuti berbagai tes uji coba seleksi negeri, aku selalu dilontarkan pesan-pesan yang membuatku semakin yakin untuk bisa meraih kuliah negeri. Dan ketika kelulusan sudah tiba di masa pandemi Covid-19 yang membuat seluruh rakyat berhenti sejenak dari berbagai aktivitasnya. Sekolah dan pondok dipulangkan demi memberhentikan rantai virus yang tersebar di Indonesia. Dengan begitu, seluruh santri dipulangkan, termasuk aku yang sudah menyelesaikan sekolah ini.
Aktivitas di rumah dimulai ketika bulan Maret 2020. Ketika sudah lulus, aku masih saja sibuk mencari informasi kuliah sambil kerja di toko dan juga guru kecil. Aku masih saja bertekad tinggi untuk kuliah di negeri, padahal sudah tahu bahwa keluargaku tak akan sanggup membiayainya.
"Nak, kuliah bayar pakai apa? Ibu tidak bisa membiayaimu kuliah, sudahlah nak SMA pun cukup. Kita orang susah, tidak mungkin bisa kamu kuliah di negeri."
Pikiran ibu seperti ini, seolah membenamkan mimpiku untuk kuliah di negeri. Memang rasanya mustahil sekali untuk aku kuliah di negeri, melihat keadaan ekonomi keluarga yang membuatku berfikir dua kali. Mendengar kalimat dari ibuku, rasanya aku benar-benar bersalah karna telah memaksakan keadaan untuk mengutarakan mimpi-mimpiku kuliah di negeri. Tetapi aku iri, aku ingin seperti mereka beralmamater kebanggaan kampusnya dengan membawa beberapa buku di gengamannya berjalan saling beriringan berbincang dan berdiskusi tentang materi perkuliahan.
"Aku iri ibu, aku ingin seperti mereka" kataku, dengan air mata yang berkaca-kaca.
"Tapi, kami tidak bisa membiayai kuliahmu, nak." Jawab ibuku penuh lemah lembut dengan memeluk erat.
Ternyata benar, ada usaha ada jalan. Kini, aku telah mengikuti beberapa seleksi di PTN, dan tak lama kemudian. Hasil seleksi tes ujian PTN menentukan bahwa aku lulus di PTN, betapa bahagianya aku mendengar kabar bahagia itu.
"Ibu, aku lulus!" kalimat riang bahagia dari aku memberitahun kabar ini.