Mohon tunggu...
Okalani Anindya
Okalani Anindya Mohon Tunggu... Mahasiswa

...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksi Demonstrasi 2025

7 September 2025   21:35 Diperbarui: 7 September 2025   21:34 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama: Rifki Ahmad Jauzi

NIM: B1B223069

Demonstrasi 2025: Suara Rakyat, Bayang-Bayang Penjarahan, dan Harapan Jalan Damai

Tahun 2025 menjadi salah satu periode yang sarat gejolak dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Rangkaian aksi protes besar mulai dari "Indonesia Gelap" hingga gelombang unjuk rasa pada Agustus menunjukkan bagaimana keresahan publik terus menguat. Akar kegelisahan itu beragam, mulai dari kebijakan pencabutan Inpres Nomor 1 Tahun 2025, kritik terhadap besarnya tunjangan DPR, hingga desakan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas. Seluruh tuntutan tersebut berpangkal pada satu hal: harapan akan keadilan serta tata kelola negara yang transparan dan berpihak pada rakyat banyak.

Sayangnya, semangat perjuangan itu tidak luput dari noda. Beberapa aksi berujung pada peristiwa penjarahan terhadap rumah sejumlah pejabat, termasuk tokoh-tokoh penting negara. Tindakan seperti ini jelas merugikan, bukan hanya karena masuk ranah kriminal, tetapi juga karena merusak wajah gerakan rakyat yang sejatinya damai. Bahkan, muncul dugaan bahwa penjarahan tersebut bukan sepenuhnya spontan, melainkan ada unsur provokasi yang sengaja diciptakan. Jika benar, maka masyarakat menjadi korban ganda: suara mereka teredam, sementara pemerintah memperoleh alasan untuk menanggapi dengan cara represif.

Untuk memahami dinamika ini, teori konflik Karl Marx dapat dijadikan lensa analisis. Ia menegaskan bahwa sejarah manusia selalu diwarnai pertentangan antara mereka yang berkuasa dengan yang terpinggirkan. Demonstrasi di Indonesia adalah manifestasi ketegangan tersebut, sebuah cara rakyat menyalurkan ketidakpuasan. Namun, saat aspirasi bercampur dengan aksi destruktif, legitimasi gerakan mudah dipertanyakan. Konsep "agent provocateur" dalam studi gerakan sosial semakin menegaskan bahwa kerusuhan bisa saja direkayasa untuk mendeligitimasi protes dan melemahkan posisi rakyat.

Meski demikian, jalan keluar bukan berarti tertutup. Langkah pertama adalah memastikan pemisahan yang jelas antara aksi damai dan tindak kejahatan. Demonstran yang menyampaikan aspirasi harus dilindungi haknya, sedangkan pelaku penjarahan mesti diproses secara hukum. Aparat keamanan pun perlu mengedepankan pendekatan yang menjunjung prinsip hak asasi manusia agar ruang protes tetap aman.

Kedua, perlu adanya penyelidikan independen dan transparan terkait penjarahan. Dugaan provokasi harus diuji dengan bukti yang kuat, dan hasilnya diumumkan kepada publik. Melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM atau organisasi masyarakat sipil akan menambah kredibilitas investigasi.

Ketiga, tuntutan rakyat wajib ditanggapi secara serius. Dialog antara pemerintah dan masyarakat harus lebih dari sekadar simbolik. Perbaikan kebijakan, transparansi anggaran, hingga keberanian memangkas fasilitas pejabat yang berlebihan adalah langkah-langkah nyata yang bisa meredakan ketegangan. Jika rakyat merasa suaranya benar-benar didengar, maka demonstrasi tidak akan berubah menjadi api kemarahan.

Keempat, pendidikan politik masyarakat harus diperkuat. Minimnya literasi politik sering membuat masyarakat merasa satu-satunya jalan adalah turun ke jalan. Dengan pengetahuan politik yang memadai, mereka dapat lebih leluasa menggunakan jalur konstitusional lain seperti petisi, forum kebijakan, atau proses hukum untuk menyuarakan aspirasi.

Selain itu, lembaga agama maupun organisasi masyarakat sipil dapat menjadi penyangga moral. Seruan untuk menjaga aksi tetap damai dan menolak penjarahan bukan berarti membungkam protes, melainkan mengingatkan bahwa perjuangan sejati tidak pernah berjalan beriringan dengan kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun