Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Kritis terhadap RUU Sisdiknas Revisi 2022

9 Juni 2022   20:01 Diperbarui: 29 Agustus 2022   19:49 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar. Sumber: detiknews.com 

RUU Sisdiknas telah lama masuk dalam prolegnas. Dari tahun 2018, wacana ini sudah ada. Namun sampai dengan saat ini masih tetap RUU karena belum kunjung ditetapkan menjadi UU.

RUU ini masih terus disempurnakan dengan melihat antusiasme warga masyarakat dan berbagai kritik dan sumbang saran dari berbagai kalangan.

Kita tidak tahu bagaimana dan kapan tahap finalisasinya tetapi dari naskah RUU yang banyak beredar, oleh berbagai pihak dikritisi karena sangat neoliberalistik.

Dalam diskusi Hari Komdik (Komisi Pendidikan) Nasional hari pertama yang telah selesai, kritik bahwa RUU Sisdiknas sangat neoliberal datang dari dosen UI Dr. Lucia Ratih Kusumadewi.

Menurut dosen UI ini, menilik dari peta jalan pendidikan yang menjadi semangat RUU Sisdiknas ini maka dapat dilihat bahwa semangat ideologi  neoliberalistik sangat kental di sana.

Hal ini disebabkan oleh tujuan pendidikan yang sangat bersifat instrumentalistik, yaitu menciptakan SDM Unggul dan memiliki daya saing global.

Apabila tujuan pendidikan adalah menciptakan SDM unggul, maka seolah-olah sisi humanis dari manusia dihilangkan. Manusia hanya dilihat dari sisi kemanfaatannya yang tentu levelnya sama dengan barang.

Sementara pada tujuan yang kedua, pendidikan seolah-olah diserahkan kepada mekanisme pasar. Pendidikan itu akan berhasil jika memiliki manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan pasar global.

Catatan kritis ini mencermarti pula kentalnya kekuatan kapitalis yang mencengkram dunia pendidikan sampai tujuan luhur pendidikan itu sendiri dilupakan.

Pendidikan tidak lagi merupakan institusi otonom karena telah dipenetrasi oleh kepentingan pasar.

Walaupun diskursus dalam zoom ini merupakan perbincangan tentang bagaimana kesiapan sekolah-sekolah Katolik ketika RUU Sisdiknas diundangkan, namun apa yang digali oleh Dr. Ratih perlu kita cermati bersama.

Dalam diskusi itu juga ada kritik terhadap orientasi pendidikan yang semakin terarah kepada digitalisasi pendidikan. Satu hal yang memang tidak bisa kita hindari.

Pendidikan berbasis teknologi digital sangat erat kaitannya dengan kaum urban kelas menengah sehingga melupakan kesenjangan digital yang masih sangat besar.

Entah benar atau tidak tapi yang kita harapkan adalah RUU Sisdiknas ini hendaknya mengayomi semua kepentingan baik itu peserta didik, pendidik, dan penyelenggara pendidikan.

Kurikulum merdeka belajar juga bukan sekedar jargon, melainkan benar-benar memerdekakan siswa dan guru.

Dengan demikian yang diharapkan adalah kreativitas yang muncul seiring tuntutan zaman yang juga meminta kita untuk semakin kreatif.

Sampai dengan saat ini belum dipastikan kapan RUU Sisdiknas revisi ini diundangkan tetapi menurut beberapa pihak revisi UU Sisdiknas perlu ditunda karena banyak persoalan yang belum tersentuh.

Senada dengan Dr. Ratih, ada yang masih melihat kecenderungan RUU ini pada ideologi neoliberal yang mengabaikan keadilan sosial.

Diperlukan sebuah kajian yang menyeluruh dan komprehensif sehingga sistem pendidikan kita benar-benar berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan dan kebahagiaan warga masyarakat dan bangsa.

Dalam diskusi tersebut Ibu Ratih belum menemukan kajian naskah akademis yang  bisa dipakai sebagai acuan untuk memberi penjelasan tentang RUU Sisdiknas ini.

Padahal, kajian akademik yang komprehensif sangat diperlukan dan harus melibatkan publik luas.

Keterlibatan publik yang luas bisa dianggap sebagai wujud keterbukaan informasi yang diharapkan menciptakan sebuah wadah penyampaian aspirasi dan umpan balik yang konstruktif.

Pada akhir sesinya, Ibu Ratih kembali memberikan beberapa refleksi kritis bagi perkembangan pendidikan kita dalam hubungan dengan RUU Sisdiknas.

Refleksi kritisnya itu antara lain, bahwa perubahan sosial masyarakat dunia akibat revolusi industri 4.0 memang tidak dapat terelakkan.

Hal ini ditandai dengan perkembangan pesat dunia digital yang menyebabkan disrupsi dalam berbagai bidang kehidupan tak terkecuali dunia pendidikan.

Akan tetapi itu tidak mengharuskan pendidikan kita diserahkan secara total kepada kekuatan industri kapitalis.

Refleksi yang berikut, bahwa dengan alasan untuk menciptakan SDM unggul maka siswa dijejali dengan berbagai target kompetensi pendidikan yang harus dikejar.

Menurut Dr. Ratih, justru ini akan menimbulkan permasalahan baru yaitu menurunnya wellbeing (kebahagiaan), menciptakan kekerasan baru dalam dunia pendidikan, kompetisi yang tidak sehat, kesehatan mental yang terganggu dan seterusnya.

Akhirnya kita harus mengakui bahwa dunia pendidikan pun tidak bisa menghidarkan diri dari perkembangan dunia saat ini yang didasari pada digitalisasi hampir semua aspek kehidupan.

Apa yang dikatakan oleh Romo Albertus Bagus Laksana, SJ Ph.D rektor Universitas Sanata Dharma yang juga menjadi nara sumber pada sesi diskusi ini patut kita renungkan.

Bahwa kita tidak bisa melepaskan diri dari apa yang dinamakan neoliberalisme maupun kapitalisme. Sebab dalam kadar tertentu kita pun adalah pelaku dari paham-paham di atas.

Kita juga tidak bisa membuat pembatas yang tegas dengan paham-paham itu sebab sementara ini kita sedang menggunakan produk-produk kapitalisme dan neoloberalisme (Romo memberikan salah satu contohnya yaitu aplikasi zoom yang sementara digunakan untuk membuat pertemuan-pertemuan virtual).

Tetapi harapan kita semua, semoga RUU Sisdiknas yang akan disahkan menjadi UU Sisdiknas nantinya setidaknya menjawabi sekurang-kurangnya permasalahan-permasalahan pendidikan yang ada.

Dengan demikian harapannya, pendidikan bangsa kita menjadi semakin baik dan memiliki daya saing yang sehat sambil tidak melupakan tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun