Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Musik di Panggung Demokrasi dan Rumusan UU Permusikan

13 Februari 2019   06:59 Diperbarui: 13 Februari 2019   07:06 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Robert Dahl mengartikan demokrasi seperti yang dituliskan dalam buku ("Indeks Demokrasi Indonesia 2010: Kebebasan yang Bertanggung Jawab dan Substansi Sebuah Tantangan", Badan Pusat Statistik) yang disusun oleh Maswadi Rauf dkk., demokrasi tidak lagi sebagai sebuah sistem pemerintahan "dari, oleh dan untuk rakyat".

 Baginya tidak ada pemerintahan secara langsung dijalankan oleh semua rakyat; dan tidak pernah ada pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk rakyat. Dengan demikian, ketika pengertian "demokrasi populistik" hendak dipertahankan. 

Dahl mengusulkan konsep "poliarki" sebagai pengganti dari konsep "demokrasi populistik" tersebut. Poliarki dinilai lebih realistik untuk menggambarkan sebuah fenomena politik tertentu dalam sejarah peradaban manusia sebab poliarki mengacu pada sebuah sistem pemerintahan oleh "banyak rakyat" bukan oleh "semua rakyat", oleh " banyak orang" bukan oleh "semua orang".

Demokrasi dalam pengertian poliarki ini, adalah sebuah sistem pemerintahan dengan ciri-ciri berikut ini: adanya kebebasan warga negara dalam sistem tersebut untuk, (1) membentuk dan ikut serta dalam organisasi, (2) berekspresi atau berpendapat, (3) menjadi pejabat publik, (4) melakukan persaingan atau kontestasi di antara warga untuk mendapatkan dukungan dalam rangka memperebutkan jabatan-jabatan publik penting, (5) memberikan suara dalam pemilihan umum, (6) ada pemilihan umum yang jurdil, (7) adanya sumber-sumber informasi alternatif di luar yang diberikan pemerintahan, dan (8) adanya jaminan kelembagaan bahwa setiap kebijakan pemerintah tergantung pada dukungan suara dan bentuk-bentuk keinginan ekspresi lainnya.

Selanjutnya dalam buku "Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Pers" yang ditulis Iwan Awaludin Yusuf dkk., diterangkan Robert Dahl mengemukakan bahwa demokrasi memberikan jaminan kebebasan yang tidak tertandingi oleh sistem politik manapun. 

Secara instrumental, demokrasi mendorong kebebasan melalui tiga cara, yakni; Pertama, Pemilu yang bebas dan adil yang secara inheren menyaratkan hak-hak politik tertentu untuk mengekspresikan pendapat, berorganisasi, oposisi, serta "hak-hak mendasar semacam ini tidak mungkin hadir tanpa pengakuan kebebasan sipil yang lebih luas. 

Kedua, demokrasi memaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri, "setiap individu hidup di bawah peraturan hukum yang dibuat oleh dirinya sendiri". 

Ketiga, demokrasi mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap negara untuk melakukan pilihan-pilihan normatif, dan karenanya pada tingkat yang paling mendalam, demokrasi mendorong kemampuan untuk memerintah sendiri.

Berbicara demokrasi, William Case merujuk kembali pada buku "Indeks Demokrasi Indonesia 2010: Kebebasan yang Bertanggung Jawab dan Substansi Sebuah Tantangan", membedakan dua kategori utama demokrasi ketika dikaitkan dengan konsepsi ideal dari demokrasi itu sendiri. 

Dua model demokrasi yang dimaksud adalah Substantive Democracy dan Procedural Democracy. Karakterisitik dari model yang pertama (substantive democracy), antara lain ditandai oleh adanya persamaan antar kelas, etnik, gender dan bentuk-bentuk lain dari identitas atau afiliasi dalam masyarakat. 

Model yang disebut pertama ini, secara essensial banyak merujuk pada model "demokrasi ideal" atau konsep demokrasi populis. Sedangkan karakteristik model yang kedua (procedural democracy), antara lain ditunjukan oleh adanya kebebasan sipil dan dilaksanakannya pemilihan umum secara reguler. Procedural democracy itu sendiri, tulis Case, memiliki dua varian, yaitu: semi democracy dan pseudo democracy.

Secara umum, semi-democracy dicirikan oleh antara lain dilaksanakannya pemilihan umum secara reguler, tetapi pada sisi lain, kebebasan sipil sangat dibatasi. 

Sementara, karakteristik dari pseudo-democracy, antara lain juga ditunjukkan oleh dilaksanakannya pemilihan umum secara reguler, namun proses pemilihan umum itu sendiri banyak diwarnai oleh kecurangan, dan kebebasan sipil nyaris dimatikan.

Beribcara soal demokrasi dan kebesan sipil, R. William Lidle dalam tulisannya yang berjudul "Demokrasi dan Kebebasan Sipil" dalam buku "Membela Kebebasan Percakapan Tentang Demokrasi Liberal", Hamid Basyaib sebagai editornya, Lidle menyampaikan, demokrasi dan kebebasan sipil adalah dua konsep yang sangat penting di dalam ilmu politik dan semakin lama semakin penting, bukan hanya karena ia terpromosikan, tapi juga banyak dihambat. 

Kebebasan atau hak-hak sipil juga bisa dikatakan suatu pengandaian bahwa negara punya peran positif dalam menjamin perlindungan hukum dan setara bagi semua warga negara tanpa memandang ras, agama serta kelamin.

Kebebasan, memosisikan manusia sebagai makhluk yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. 

Dalam buku " Empat Teori Pers" atau judul aslinya "Four Theories of The Press" yang ditulis oleh Fred S. Siebert dkk., di sana dijelaskan bahwa John Milton dalam bukunya Areopagitica, menyatakan manusia dengan akal pikirannya dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, baik dan buruk. 

Untuk menggunakan kemampuannya ini, manusia harus mempunyai hak yang tidak terbatas dalam mendengarkan ide atau pikiran-pikiran orang lain. John Milton yakin bahwa kebenaran bersifat pasti dan dapat didemonstrasikan, dan bahwa kebenaran punya kekuatan yang unik untuk bertahan apabila diberi kebebasan untuk mempertahankan dirinya dalam suatu "pertemuan yang bebas dan terbuka".

Lebih lanjut, Milton menyatakan, biarkan semua orang yang punya sesuatu yang dikatakannya menjadi orang yang bebas menyatakan perasaannya itu. Yang benar dan dipercaya akan bertahan; yang salah dan tidak bisa dipercaya akan takluk.

Buku "Empat Teori Pers" ini sangat jelas dalam menjabarkan arti kebebasan. Selanjutnya dinyatakan pula pandangan John Stuart Mill. Menurutnya, ada empat dalil pokok yang diajukannya terhadap kebebasan menyatakan pendapat (berekspresi). Pertama, apabila kita membungkam sebuah opini - seperti yang sama kita tahu - maka kita berarti membungkam kebenaran.

 Kedua, opini yang salah mungkin di dalamnya mengandung benih kebenaran yang diperlukan untuk mendapatkan kebenaran seluruhnya. Ketiga, bahkan apabila opini yang diterima umum merupakan kebenaran seluruhnya, publik sering mencekalnya tidak berdasarkan akal-pikiran melainkan sebagai prasangka kecuali jika mereka dipaksa untuk terus mempertahankan itu. 

ang terakhir, kalau opini yang diterima umum tidak diperdebatkan dari waktu ke waktu, kekuatan dan efeknya terhadap tingkah laku dan karakter manusia akan berkurang.

Kembali dalam perihal kebebasan sipil, dengan kembali merujuk pada buku "Indeks Demokrasi Indonesia 2010: Kebebasan yang Bertanggung Jawab dan Substansial", berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang berlaku umum, kebebasan sipil meliputi antara lain, kebebasan untuk mengemukakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan untuk berserikat dan kebebasan untuk berkeyakinan beribadah.

Ancaman bagi kebebasan sipil umumnya berasal dari dua sumber utama. Pertama, ancaman yang bersumber dari para pemegang otoritas negara. Pemerintah pada umumnya kurang menyukai adanya kebebasan sipil, terutama dalam hal mengemukakan pendapat dan berserikat, karena akan mengganggu hegemoni politik yang dimiliki. 

Ancaman yang kedua, berasal dari apa yang John Stuart Mill sebut sebagai " Tyranny of the majority". Ancaman yang disebut terakhir ini, bisa saja tidak berasal dari negara, dan/atau pemerintah, tetapi bersumber dari masyarakat sipil.

Akhirnya kita akan membahas perihal yang belakangan ini sibuk dibicarakan oleh banyak orang terkait Rancangan Undang-Undang Permusikan. Banyak yang menganggap RUU tersebut mengancam para seniman musik. 

Seperti yang dituangkan oleh Danilla Riyadi dalam petisinya di change.org yang menganggap salah satu pasal dari RUU Permusikan merupakan pasal karet. 

Pasal tersebut ialah Pasal 5, pasal ini dianggap pasal karet lantaran banyak memuat kalimat multi interpretasi dan bias, seperti: menista, melecehkan, menodai dan memprovokasi. 

Pasal karet seperti ini sangat berbahaya dan menjadi pintu masuk bagi sekelompok orang (penguasa atau siapapun) untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. 

Jadi siapapun yang tidak suka dan menganggap sebuah isi musik yang disampaikan mengandung unsur provokasi, melecehkan, menista dan menodai dapat dilaporkan ke pihak berwajib dengan mengacu pada Pasal 5 RUU Permusikan tersebut.

Musik sendiri, bagi para filsuf mampu mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat disampaikan dengan kata-kata maupun jenis seni lainnya. Mereka juga mengatakan musik akan lebih mampu dan ekspresif untuk mengungkapkan perasaan dari bahasa baik lisan maupun tulisan.

Dalam naskah ilmiah RUU Permusikan, Jamalus mengartikan musik sebagai suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik, yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk/struktur lagu, dan ekspresi sebagai suatu kekuatan. 

Dalam naskah tersebut juga ditambahkan pendapat M. Soeharto yang tak jauh berbeda dengan Jamalus mengenai musik. Baginya, musik adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi yang unsur dasarnya berupa melodi, irama/ritme, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa bentuk, sifat dan warna bunyi.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seni musik merupakan penyampaian pendapat dan gagasan/ekspresi yang disampaikan melalui unsur-unsur musik. 

Musik merupakan bagian dari kebebasan sipil yang dalam sistem demokrasi dan sudah tertuang dalam konstitusi harus dilindungi kebebasannya karena bagian dari menyampaikan pendapat dan juga ekspresi dari para pelakunya. 

Jadi RUU Permusikan merupakan upaya penghambatan kebebasan yang dimiliki oleh masyarakat luas karena dengan isi pasal-pasalnya dapat memidana pelaku seni musik dengan alasan dianggap memprovokasi, menista, melecehkan dan menodai. 

Bukan hanya penguasa (baik Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) yang dapat melaporkan ini, tapi masyarakat umum juga yang merasa dirinya tersinggung dengan hasil karya seni musik dapat melaporkannya ke pihak berwajib. 

RUU Permusikan telah menurunkan level demokrasi di tanah air ini. Demokrasi kini hanya dijadikan sarana untuk pemilihan umum secara reguler, namun kebebasan sipil semakin dibatasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun