Saya sandarkan handpone ke sebuah batang kelapa. Petunjuk dari warga desa begitu jelas. Dilarang bergerak agar terjangkau jaringan. Jadilah saya berdiri tanpa sedikit pun menggerakan handpone. Kelelahan begitu terasa, terutama tangan karena pegal mengangkat handpone. Sesekali saya berteriak dengan geram lantaran tak kunjung mendapatkan signal.
Saya tak sendiri, beberapa warga juga datang ke spot ini guna mencari jaringan komunikasi. Suasana malam biasanya paling ramai, lokasi yang berada di kebun kelapa dan berbatasan dengan pantai ini selalu di penuhi warga walau gelap lantaran tak adanya penerangan. Lampu di desa kami biasanya sudah padam pukul 10 malam.
Saking gelapnya,antara satu dengan yang lain tak saling melihat. Satu-satunya yang bisa dikenali ialah suara ketika saling menyahut atau saling langsung duduk di dekat mereka. Selebihnya, hanya cahaya dari layar handpone yang menyala berjejeran.
Kejadian lucu sering terjadi, di tengah gelapnya malam, warga sering berteriak dengan posisi handpone yang menjulang ke langit sembari berucap “ halo-halo, dengar tidak?”. Atau, lari karena tiba-tiba siulan setan yang begitu kencang.
Sekian lama menunggu, handpone yang saya sandarkan ke batang kelapa menangkap satu bar signal naik dua lalu turun lagi satu. Begitu seterusnya. Walau begitu saya bahagia, handpone saya berbunyi. Sms bertumpuk-tumpuk masuk. Empat hari pulang ke desa, saya malas ke lokasi jaringan karena jaraknya lumayan jauh dan tempuh dengan berjakan kaki.
Terlampau bahagia dan membalas satu persatu sms yang masuk, saya lupa pesan warga agar tidak menggerakan handpone jika sudah mendapatkan Signal. Alhasil, saya harus mengulanginya dari awal dengan menggeser handpone kesana-kemari hanya untuk mendapatkan signal kembali.
Warga yang berada di sekitar tertawa sembari mengejek saya sebagai bocah amatiran dan belum memiliki skill. Benar sih, saya harus bersusah payah mencari signal sementara mereka, sekali duduk di lokasi tertentu sudah bisa menelpon.
Dari pukul 9 hingga pukul 1 malam, saya hanya dua kali mendapatkan signal dengan durasi 30 menit. Saya muak dan pulang. Pegal kaki berdiri sebegitu lamanya hanya untuk berkomunikasi.
Itulah kondisi di desa saya, Desa Mateketen Kecamatan Makian Barat Kabupaten Halmahera Selatan beberapa tahun silam rentang waktu Tahun 2009-2015.
Koneksi telekomunikasi sangat sulit dijangkau dan menjadi barang mewah. Handpone-handpone yang di beli dari kota ibarat barang mati yang tersimpan rapi di dalam lemari dan jarang digunakan. Sekali digunakan, warga harus menuju lokasi-lokasi yang terjangkau signal. Atau berfungsi penuh jika di Kota Ternate.
Konsekuensi desa di pesisir ialah ketika tiba musim ombak disertai angin, jaringan komunikasi otomatis ikut hilang dan tidak terjangkau hingga musim selesai. Warga utamanya bagi yang mempunyai anak bersekolah di Kota, akan menulis surat atau menitipkan pesan kepada warga lain yang menuju kota.
Ketersediaan jaringan telekomunikasi pada rentang waktu tersebut sangatlah sulit. Kami harus susah menangkap signal hanya untuk berkomunikasi. Kondisi ini kemudian membuat geram warga 8 desa sekitar . Berbagai usulan baik melalui pemerintah desa hingga mahasiswa sangat lambat di akomodir.
Aspirasi ini juga sering disampaikan ketika ada Kunjungan Kerja (Kuker), Pemerintah Provinsi Maluku Utara maupun Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Pada momentum politik, aspirasi ini juga tak luput dari perhatian. Di sampaikan dengan gamblang kepada setiap kandidat yang datang sebagai tukar guling suara yang akan diberikan. Namun realisasinya tak kunjung terwujud.
Disparitas ketersediaan dan penyamarataan akses telekomunikasi sangat dirasakan di timur. Bahkan antar kota atau desa di Maluku Utara terutama di desa pesisir. Konsentrasi jaringan utamanya akses jaringan internet hanya berada di Kota Ternate, Tidore, Sofifi, dan Sebagaian Pulau Halmahera yang sejatinya Ibu Kota Kabupaten.
Sementara pulau-pulau yang terletak di pesisir, Jangkauan telekomunikasi dan jaringan internet belum merata. Ketersedian koneksi bahkan hanya mencapai 2G dan 3G. Kondisi ini berbeda dengan keterjangkauan jaringan di Pulau Jawa hampir merata jaringan 4G.
Lantas bagaimanakah perkembangan terkini?
Program Pemerintah dalam mengkoneksikan jaringan hingga ke pelosok negeri; terpencil, terluar dan terpelosok merupakan angin segar bagi perkembangan pembangunan jaringan telekomunikasi terutama di wilayah timur.
Tol Langit sebagai program strategis juga dikhususkan menyasar wilayah timur dengan mengandalkan serat optik Palapa Ring dan mengalokasikan 4000 Base Transceiver Station (BTS) Telkom Indonesia. (1).
Sarana prasarana digenjot dan disediakan salah satunya di desa saya yang menjadi sentra jaringan untuk 8 desa lain. Tower BTS Telkom Indonesia. Tower ini dibangun tahun 2013 dan sempat mengalami kerusakan panjang sebelum diperbaiki pada tahun 2019. Mulai saat itu upgrade berkala dilakukan sehingga awalnya hanya menjangkau 2G kini sudah bisa menjangkau jaringan 4G.
Pemerataan internetnya Indonesia kemudian menjadi sangat kuat terutama di Maluku Utara. Berdasarkan data N.Perf.com jaringan internet Telkom Indonesia selama dua tahun belakangan meningkat dengan pesat. Dilihat dari titik-titik warna yang mewakili setiap jaringan dari tanpa jaringan hingga (4G).
![20220710-010021-62c9c3e21cc83d50e845e0a2.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2022/07/10/20220710-010021-62c9c3e21cc83d50e845e0a2.jpg?t=o&v=770)
Kondisi ini diperkuat dengan jaringan internet yang disediakan oleh pihak pemerintah Kecamatan dan diakses gratis oleh warga desa. Ketersediaan wifi IndiHome yang dipasang oleh pihak Kecamatan Makian Barat, Pemerintah desa, Sekolah, Puskesmas.
Jaringan internet ini oleh warga disebut Wifi. Manfaat internet IndiHome pada akhirnya membuat warga memanfaatkan dengan berbagai macam kepentingan. Mulai dari melakukan pekerjaan, berselancar di dunia maya, menonton Youtube, mengerjakan tugas dan berbagai hal yang mendukung pekerjaan utamanya pegawai yang bekerja di Desa.
Salah satu guru menuturkan, dulu sebelum hadirnya jaringan internet, mereka harus bolak balik Ibu Kota Kabupaten yang ditempuh dengan waktu sehari semalam. Biaya yang dikeluarkan cukup besar lantaran harus menggunakan kapal laut dengan mula-mula menuju Kota Ternate menggunakai Speedboat kemudian lanjut lagi malamnya menggunakan kapal yang lebih besar.
Perjalanan itu dilakukan hanya untuk mengantar dokumen-dokumen seperti data siswa, alokasi anggaran hingga kenaikan pangkat dll. Kondisi yang sama juga diutarakan pegawai Kantor Kecamatan di mana mereka harus bolak-balik mengurus berbagai hal.
Kesamarataan dan pembangunan jaringan telekomunikasi mendorong kemajuan dalam melakukan tugas secara efisiesi. Kehadiran internetenya Indonesia utamanya IndHome. Manfaat internet membuat mereka tinggal mengupload ke sistem tanpa harus mengeluarkan biaya dan tenaga untuk sampai ke Ibukota Kabupaten Halmahera Selatan.
Pada tahun 2021 kemarin, ketika Pandemi Covid-19 melanda, saya sendiri memutuskan untuk pulang kampung sebentar dengan tujuan menengok kebun Buah Pala yang sudah enam tahun ditinggalkan.
Ketika sampai, handpone yang tadinya tak ingin saya bawa kemudian menangkap sinyal full dengan jaringan 4G terpampang di layar handpone. Sepanjang jalan saya menuju rumah sekira 1 Km dari pelabuhan labuh HP saya terus menangkap sinyal.
Faktor ekonomi menjadi aktor terdepan karena mayoritas pekerjaan orang tua berprofesi sebagai petani perkebunan; Pala dan Kelapa, komoditi musiman.
Alhasil, kebijakan pendidikan yang diambil hampir di semua tingkat sekolah di desa saya ialah siswa-siswi hanya datang absen, mengumpulkan tugas, diberi tugas lalu pulang kembali.
Tugas yang diberikan kadang harus di cari di internet. Kondisi ini mengharuskan mereka ketika pulang sekolah langsung menuju Kantor Desa, Sekolah SMA dan Kantor Kecamatan untuk mencari tugas yang diberikan guru.
Alhasil, di tiga titik lokasi Internetnya Indonesia ini dipenuhi siswa-siswi dari SD sampai SMP. Saya menyaksikan mereka dengan sedikit lucu lantaran mereka berkelompok mencari tugas. Jika bosan mereka kadang membuka game, bermain sebentar lalu melanjutkan lagi mencari tugas. Kadang berantem karena salah mencari dan menarik rela meminjamkan handpone kepada siswa yang tak memiliki hanpone.
Kepanikan mereka ini sangat wajar. Lantaran ada batasan bagi anak sekolah mengakses internet yang hanya sampai jam 8 malam. Keputusan ini disepakati oleh pihak sekolah, orang tua dan pemerintah desa guna mencegah mereka mengakses sesuatu yang tidak diinginkan.
Keputusan ini juga agar anak sekolah memanfaatkan waktu belajar sehingga jika lewat mereka akan disuru pulang.
Kondisi lain yang sangat nampak nyata dari Manfaat Internet ialah para pegawai Puskesmas. Garda terdepan dalam melwan Covid-19 ini sangat aktif melakukan kegiatan. Utamanya vaksinasi dan update data capaian target dan kinerja vaksinasi.
Setiap hari mereka melakukan update data setelah kegiatan vaksinasi dari desa ke desa yang di tempuh mulai dari laut dan darat. Pekerjaan sedikit ringan lantaran. Di kantor, mereka mendapat manfaat internet dari IndiHome yang terpasang.
Selain itu, banyak warga juga desa yang sudah mulai memetik Manfaat Internet. Apalagi buat ibu-ibu yang sering saya lihat mengakses Medsos. Banyak juga yang mengikuti perkembangan negara dengan menonton Youtube. Selain berita, mereka utamanya bapak-bapak mengupdate pengetahuan pemakaian pupuk untuk tanaman agar buah pala berbuah lebat. Sebuah pengetahuan yang jarang mereka dapatkan karena minimnya sosialisasi dari pihak-pihak terkait.
Manfaat internet dengan kehadiran Telkom Indonesia serta IndiHome adalah wujud dari kemerdekaan informasi bagi desa. Desa yang selama ini terisolasi karena disparitas informasi kini kian merata dan mudah mengakses informasi yang diinginkan. Warga desa utamanya desa pesisir di Maluku Utara sudah tidak melek informasi dan gaptek teknologi. Sebuah wujud dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Sukur dofu-Dofu)
Sumber :
1.https://www.kompasiana.com/ojhy/5f36a4f6097f360931120332/pulsa-gratis-aduh-mama-sayang-e
2. N.perft.com