Sebuah mekanisme pasar (permintaan-penawaran). Di tingkat konsumen harganya begitu tinggi akan tetapi di tingkat petani harganya begitu rendah.
Setelah keluar dari toko kue tersebut saya terus memutar otak "ada apa", walaupun belakangan klaim pemerintah daerah berhasil melakukan ekspor ke Italia dan Finlandia, tetapi kondisi rill di lapangan justru masih sangat jauh. Tidak ada efek multiplayer ke tingkat petani.
Salah satu hal yang menjadi perhatian ialah tidak adanya pemanfaatan produk turunan. Selama ini, salah satu produk yang turun temurun diusahakan masyarakat ialah halua kenari.Â
Produk berbahan kenari ini memiliki proses pembuatan yang unik. Kacang kenari yang sudah kering kemudian disangrai, lalu diberi gula merah kemudian diaduk hingga keras dan saing lengket. Kemudian dicetak berdasarkan ukuran bungkusan.Â
Bungkusan yang umum dipakai di Maluku Utara ialah daun pisang. Walau belakangan ada sedikit inovasi dengan packaging yang unik untuk menembus pasar lokal maupun nasional.
Produk ini oleh masyarakat juga belum diarahkan pada penciptaan nilai rupiah. Artinya, masyarakat akan membuat halua kenari hanya untuk dikonsumsi dan kebanyakan alias umumnya untuk dikirim ke sanak keluarga yang memesan.
Padahal, produk halua kenari sangat diminati dengan harga yang begitu tinggi. Untuk ukuran kecil saja bisa dijual 10-15 ribu rupiah di pasar konsumen.
Selain itu, pemanfaatan turunan seperti kulit alias cangkang kenari juga terbilang masih rendah. Hanya digunakan sebagai sumber api di tungku-tungku warga. Padahal limbah produksi satu ini bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan briket.Â
Menurut Nelfianti et al (2009) analisis ekonomo sangat layak untuk dikembangkan dengan R/C sebesar 1.9.
Kelemahan-kelemahan ini kemudian menjadi pendorong bagi pemerintah daerah hingga akademisi menggerakan Bumdes akan tetapi itu hanyalah sesaat. Sebab setelah pembentukan Bumdes di mana-mana, justru proses pembinaan jadi terbengkalai dan pada akhirnya mati dengan sendirinya.