Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Terima Kasih Ma..

4 April 2021   12:29 Diperbarui: 4 April 2021   12:31 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber. Benyinstitut.com

Kak, pulanglah dulu. Jenguk mama, Ia menunggu kalian.

Pesan singkat itu seketika menampar diri hingga dilema hadir menyelimuti. Kegalauan menghantui. Apa maksud pesan ini. Baru kali ini, mendengar beliau sakit hati terasa hancur. 

Tidak seperti biasanya. Ketika beliau saya sakit, selalu ada suara diujung telepon yang berkata "mama baik-baik saja". Sebuah penguatan dan penegasan bahwa Ia kuat walau sesungguhnya ada derita yang mendera.

Kali ini berbeda, tiga hari sebelum itu hanya pesan diujung telepon yang berharap anak-anaknya pulang menjenguk walau hanya sehari. Tiga dari kami setia menemani, sementara dua dari kami berada di ujung timur dan ujung barat.

Kepulangan kami berdua begitu diharapkan. Harapan itu pun selalu di sampaikan oleh adik-adik saya ketika menelpon. Dengan tangisan yang juga mengiringi.

Setelah pesan itu, tiga hari saya larut dalam pemikiran. Dilematis dan diam membisu. Antara pulang atau bertahan. Ditengah kehimpitan jiwa itu, hadir penyemangat dari sahabat yang terus menguatkan agar tabah dan sama-sama mencari jalan keluar.

Saya, begitu berterima kasih padanya. Jika tak ada Dia, entah apa jadinya. Prahara yang menyerang begitu hebat. Hingga tak sanggup membuat keputusan.

Apalagi, pertemuan terakhir saya dengan ibu saya sudah hampir setahun lebih semenjak terakhir kali berpisah di bandara. Mengantarkan seorang anak seperti saya menuju kembali ke Jakarta. Mengejar impian yang selalu didambakannya.

Hari berganti, saya putuskan pulang. Di bantu sahabat, tiketpun di peroleh. Perjalanan saya tempuh ialah Batam ke Jakarta, Kemudian Jakarta-Makkasar kemudian Ternate.

Sebuah perjalanan yang memakan waktu 14 Jam. Bertolak dari Batam jam lima sore dan tiba di Ternate pukul 10 pagi. Naik turun pesawat hingga jetlag.

Dalam perjalanan itu, saya begitu banyak memaknai kehidupan. Di atas langit saya memikirkan tentang betapa kecilnya manusia sementara ketika di darat, saya memikirkan betapa egonya manusia.

Perjalanan inipula menyeret saya memaknai banyak hal tentang arti keluarga. Sejauh apapun seseorang melangkah, rumah adalah hal penting bagi seseorang dan keluarga adalah alasan seseorang berjuanh dan pulang. 

Banyak kenangan yang sengaja saya seret ke kepala, bernostalgia tentang hangatnya kebersamaan. Ibu yang selalu hangat menyambut anak-anaknya pulang. Memasakan masakan kesukaan, hingga rela berhutang jika tak memiliki uang.

Ayah yang selalu getol menanamkan kehidupan. Tentang laki-laki dan tanggung jawab. Tentang wanita dan hak-haknya. Ada canda tawa, tangis hingga prahara. Terbungkus menjadi satu; cinta.

*

Saya melangkah tergesa-gesa menuju parkiran bandara. Walau Jetlag, saya putuskan langsung ke rumah sakit. Seorang teman yang menjemput sudah stand bye sejam lebih dulu.

Lima belas menit perjalanan ditempuh. Ketika sampai, tanpa pikir panjang saya langsung naik ke lantai empat. Keluarga yang berkumpul pun tak saya hiraukan atau sekedar menyapa maupun berjabat tangan. 

Di kepala saya hanya satu, secepatnya bertemu dan menyampaikan bahwa anaknya telah memenuhi panggilan yang sudah lama Ia nantikan.

Ketidaksabaran bertemu menyelimuti. Saya bahkan sedikit emosi ketika lift yang tersedia di rumah sakit harus dibedakan. Lift pasien dan pengunjung menjadi satu dan perawat serta staf menjadi satu. Sebuah ketidakadilan menurut saya.

Ruangan ICU di lantai empat begitu ramai. Banyak keluarga pasien menunggu di luat ruangan.  Saya menyaksikan seksama betapa raut-raut wajah para keluarga pasien yang di rawat di sini nampak cemas. Tak ada raut berseri. Yang ada nampak adalah harapan-harapan yang tergambar.

Kapasitas ruangan yang kecil mengharuskan pihak rumah sakit membatasi jumlah pengunjung di dalam ruangan juga membuat keluarga pasien semakin cemas. Pun dengan saya yang sedari tadi menunggu agar diizinkan masuk.

Sekira lima belas menit menunggu sebelum akhirnya benar-benar masuk ke ruangan tempat ibu saya di rawat. Tak ada kata halo atau sapaan yang keluar dari mulut beliau seperti biasa. 

Selang oksigen sudah merayap masuk ke kehidung. Entah berapa kabel yang terpasang di badan yang lemah itu. Hanya monitor yang menjadi satu-satunya kehidupan. 

Garis naik turun yang merekam jantung, darah dan napas serta kondisi lain saya pandangi dalam-dalam. Apakah ini Ma.? tanyaku dalam sedih.

Berkucuran air mata ini menyaksikan dirimu terkulai lemah di ruangan ini. Sudah seminggu kau terbaring tanpa sadar atau mengeluarkan sepata katapun.

Air mata  tak lagi kuasa menahan. Jatuh bercucuran mebahasi pipi. Menyaksikan sakitmu membuat diri menjadi hancur berkeping-keping. Andai saja kita bisa bertukar, maka akan ku minta bertukar atas rasa sakitmu.

Saya diam, dan memandangi wajahmu erat-erat. Wajah tanpa senyum seperti biasa. Kudekatkan diriku lalu berbisik ditelingamu, " Ma, aku sudah pulang. Bangun lah Ma" 

Tiga kali bisikan dengan penuh harap hingga sebuah mukzijat menggerakanmu menolehku. Matamu berlahan terbuka dan menoleh ku. Walau tak ada suara yang keluar.

Seakan menyambutku pulang dan berusaha bangkit. Seakan kau tak mau diri ini menyaksikan kondisimu. Kita bercengkrama. Walau berderai air mata. Saya terus bercerita dan kau mendengarkan. Tentang impian yang kau inginkan.  

Saya tau, ada kekwatiran yang selalu menyelimutimu. Tentang kami anak-anakmu. Hari ini, saya yakinkan padamu bahwa semua akan baik-baik saja. Semua akan berjalan dengan ketetapan Tuhan.

Kita berbagi cerita hingga menjelang sore. Sebelum cerita itu tinggal kenangan. Kau pergi ke pangkuan sang kuasa. Dihadapan kami, anak-anakmu dan keluarga besar. Di ruangan yang tak pernah akan saya lupakan.

Kau pergi dengan senyum dan wajah yang luar biasa bersinar. Dengan indah pada napas terakhirmu. Dengan rahasia yang tak semua orang bisa. 

*

Hari ini, kuhantarkan dirimu pulang ke tempat peristirahatan terakhirmu. Memelukmu untuk yang terakhir kali. Melalui jalan yang selalu kita lalui dan menggendongmu masuk ke rumahmu yang baru. 

Adzan yang dikumandangkan menjadi ayat terkahir sebelum tanah menutupi liang lahatmu. Aku menyaksikan itu semua. Menyaksikan jasadmu kembali seperti janji Allah SWT. 

Terima kasih Ma atas segala dedikasimu pada kehidupan kami, anak-anakmu. Atas nilai-nilai yang kau tanamkan. Tentang agama, dan kehidupan yang begitu kuat.

Kamu memberikan pelajaran yang luar biasa. Walau pada suatu titik ketika saya ingin berkeluh kesah, tak ada lagi sosokumu. Tak ada lagi nasihat-nasihat bijak atas kesesatan anak-anakmu. Yang ada hanya doa-doa yang selalu saya kirimkan.

Terima kasih atas cinta yang kau bagi, saat susah atau senang. Semua kenangan yang singkat ini akan selalu ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun