Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak Pasar, Meraup Rupiah dari Kantong Kresek

23 Februari 2021   00:11 Diperbarui: 23 Februari 2021   05:57 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak penjual kue | kompas.com/wijaya kusuma

Kita pasti tidak asing dengan kehadiran sosok-sosok kecil berpenampilan lusuh menawarkan kantong kresek, atau menawarkan diri membawa barang belanjaan ketika sedang berbelanja di pasar tradisional. 

Atau, saat menyantap makanan di pusat kuliner maupun di pinggir jalan, kita dihampiri oleh anak-anak; dua bahkan lebih, bernyanyi, menjual tisu hingga mengemis.

Yap, mereka anak pasar. Istilah umum yang entah dari mana asalnya. Mereka terkadang dikaitkan dengan anak jalanan. Walau tidak semua berakhir di jalanan.

Anak pasar adalah fenomena menarik memenuhi kultur sosial di setiap pasar-pasar tradisional. Mengais rupiah lewat jasa. Berbaur dan memberi warna dalam mekanisme pasar yang transaksional.

Kehadiran mereka sering melahirkan rasa iba, namun tak jarang pula hadir pertanyaan. Siapa anak-anak ini? Di mana orang tua mereka, apakah mereka anak sekolah, siapa yang menyuruh mereka, hingga di mana mereka tidur. Kondisi yang menurut Adlun (2021) karena anak pasar selalu menerima sisi pandangan yang kontras dan stigma konservatif.

Anak-anak ini rata-rata berada di bawah umur angkatan kerja. Mereka melakukan berbagai pekerjaan seperti menawarkan kantong kresek, mengangkut barang, kuli panggul, mengasong, dan lain-lain.

Padahal, anak-anak ini harusnya berada pada fase tumbuh dan berkembang dibawah asuhan orang tua maupun keluarga. Menumbuhkan minat, kreatitas hingga kecerdasan.

UU sangat tegas melarang seorang anak yang belum dewasa untuk bekerja seperti UU nomor 13/2003, UU nomor 23 tahun 2002 yang intinya melarang anak-anak dibawah 18 tahun untuk bekerja. 

Namun di lapangan, banyak anak-anak justru terlibat dalam kerasnya kehidupan. Kerasnya kehidupanlah yanģ membuat mereka berada pada ruang yang berbeda.

Hal-hal seperti yang diatur dalam Kepres 59/2002 tentang tiga belas jenis terburuk pekerja anak, melekat erat pada anak-anak khususnya di Indonesia.

Beberapa poin yang saya soroti yakni mempekerjakan anak sebagai pemulung, tulung punggung keluarga hingga mempekerjakan anak-anak di jalanan justru tak asing terjadi selain dari poin lainnya.

Jumlah pekerja anak di Indonesia juga cenderung masih tinggi dari tahun ke tahun. Perkara ini merupakan faktor serius. Bahkan pemerintah sendiri terus berupaya agar pada tahun 2022 tidak ada lagi pekerja anak. Sebuah pekerjaan besar.

Sumber : theny Panie. worldpres.com
Sumber : theny Panie. worldpres.com
Berdasarkan survei nasional pekerja anak Indonesia yang dilakukan oleh BPS dalam laporan ILO 2009 (Pekerja Anak Indonesia) jumlah anak usia 10-17 yang bekerja mencapai 12.1 persen dari jumlah anak sekitar 35.7 juta dengan rata-rata jam kerja 27 jam.

Sementara menurut KPAI 2018 dalam laporan Profil Anak Indonesia, pada tahun 2017 saja presentase anak-anak usia 10-17 tahun yang bekerja mencapai 7.23 persen (1.2 juta) dan angka ini lebih tinggi dari tahun 2016 sebesar 6.99 persen. Dengan kategori pekerja yang maaih sekolah (52.09 persen), dan tidak bersekolah 46.89 persen dan 1.02 belum bersekolah/tidak bersekolah. (2). Dan meningkat lagi meningkat menjadi 0.4 juta atau 1.6 juta. (1)

Di masa pandemi ini pun keberadaan pekerja anak diprediksi oleh KPAI akan meningkat ke 12.4 persen atau sekitar 11 juta anak berpotensi menjadi pekerja (2)

Tentu data data ini menujukan bahwa persentase pekerja anak di Indonesia berfuluktuatif namun cenderung cukup tinggi masih. Anak-anak ini terlibat dalam bentuk pekerjaan hingga tak jarang berada pada kondisi dieksploitasi yang sering menjadi sorotan. (3)

Kondisi yang demikian menjadi catatan penting dan kritis apalagi target pemerintah agar di 2022 tak ada lagi pekerja anak. Sebuah keniscayaan yang butuh banyak kerja keras dan sinergitas baik pemerintah, swasta,lembaga semisal LSM, perguruan tinggi untuk terlibat secara aktif.

Berbagai permasalahan perlu didudukan secara matang terutama menyangkut perihal apa dasar dan motif anak-anak ini terlibat dan dilibatkan ke ranah pekerjaan. 

Ada dimensi sosial ekonomi yang patut menjadi perhatian semua pihak, bahwa keterlibatan anak-anak memiliki motif yang sangat lekat dengan unsur internal dan eksternal yang mereka hadapi.

Sebab, kerasnya kehidupan menyebabkan mereka terlibat dalam dunia yang seharusnya belum menjadi wilayah mereka. Faktor-faktor pun kemudian hadir yakni faktor internal dan external.

Salah satu faktor internal tentu saja ekonomi. Dorongan orang tua utamanya. Beberapa kasus yang saya temui, para orang tua mendorong anak-anak mereka untuk ikut terlibat dengan dalil membantu orang tua. Dorongan itupun mau tak mau harus dijalani.

Sementara menurut Masdiyah (2014) selain faktor internal keluarga seperti peran orang tua, juga faktor external yakni sosial budaya dan urbanisasi yang pada dasarnya, baik internal maupun eksternal, maupun alasan lain, semua bermuara ke kondisi sosial ekonomi sebuah keluarga. Bahkan pada anak itu sendiri. Bahwa kehidupan telah mendorong mereka menjalaninya dengan keras.

Sebuah Cerita, Anak Pasar

Sebut saja namanya Yadin, Si Anak Pasar. Begitu aku mengenalnya. Tetanggaku dulu semasa sekolah. Gara-gara dia, akupun sempat "mencicipi" aroma khas dari pasar; bauh apek, anyir, sayur busuk, dan berbagai bauh lainnya. Aku, menjadi anak pasar sesaat. Ah sebuah nostalgia.

Sepulang sekolah, Yadin tak berleha-leha, layaknya anak lain yang memilih tidur siang dan melepas lelah sehabis dicekoki pelajaran di ekolah. Atau, ketika sore bermain sepak bola. 

Anak ketiga dari tiga bersaudara ini sehabis mengganti pakaian, dan makan siang lalu tancap gas menuju ke salah satu pasar tradisional di Ternate. Pasar Gamalama.

Perjalanan Ia tempuh berjalan kaki dengan perkiraan sampai ke pasar menjelang pukul tiga atau empat. Di saat seperti ini, pasar mulai ramai karena banyaknya pengunjung.

Sesampainya di Pasar Ia lalu menuju kios langgannya. Mengambil kantong kresek. Ia bisa menjual dengan sistem dibayar diakhir atau ia beli tapi membayar sehabis terjual.

Biasanya ia memilih membeli beberapa buah karena keuntungan sedikit besar. Katong kresek tersebut kemudian diikat dengan tali rapia lalu diselempang ke badan. Sementara sisanya Ia pegang. 

Dari sini Ia mulai beraksi. Kadang bersama satu atau dua orang kadang sendiri. Setiap pengunjung dihampiri. Terutama ibu-ibu yang kerepotan membawa barang belanjaan serta tidak membawa keranjang.

Ia dan teman-temannya tak malu menawarkan kantong kresek ke pembeli. Biasanya langsung dihampiri. Bahasa pertama yang dikeluarkan ialah "Bu, tas bu?; tas disana ialah kantong kresek.

Para konsumen ini tak lantas menerima begitu saja. Bahkan, banyak yang abai tanpa membalas tawaran dan berlalu begitu saja.

Satu saja pembeli yang mengiyakan membeli kantong kresek mereka maka hari itu mereka pulang membawa rupiah. Sebab, selain menawarkan kantong kresek, mereka langsung diajak berkeliling. 

Tugas Yadin dan kawan-kawannya ialah membawa barang belanjaan milik konsumen hingga konsumen selesai berbelanja.

Sementara ukuran pendapatan tidak menentu. Jika hanya membeli satu kantong kresek maka mereka maraup hasil 2.000 rupiah. Namun jika ikut menemami konsumen maka standar yang mereka dapatkan tergantung pemberian konsumen.

Kadang 5.000 hingga 10.000. Jika konsumen berbaik hati maka bisa 20.000. Namun yang terakhir ini jarang terjadi.

Bayangkan saja, berapa lama mereka harus menemani konsumen berbelanja. Artinya jika dihitung berdasarkan peluang misalkan dalam 1 jam mereka menjual kantong kresek tanpa menemai dengan asumsi dijual 5 kantong maka mereka sudah menghasilkan 10 ribu. Berbeda dengan ikut menemami yang dibayar tidak menentu duit receh dari sisa belanjaan.

Pekerjaan ini dijalani hingga aktivitas pasar sepi. Jika sudah sepi, mereka biasanya disuru oleh pedagang membuang sampah, membersihkan lapak hingga membantu pedagang membereskan barang. Ya, standar pekerjaan seperti ini dibanderol 5.000 rupiah.

Yadin biasanya pulang pukul delapan atau sembilan malam. Mandi, makan dan tidur. Esok harinya, aktivitas dijalani seperti biasa, sekolah dan ke pasar tampa malu sedikitpun. Dalam sehari paling tinggi ia meraup 20.000 rupiah. 

Pernah suatu waktu saya bertanya, apakah Ia tidak malu? namun jawabannya membuat saya berhenti bertanya. 

"Malu kenapa, kan bukan mencuri. Yang penting halal," ujarnya kala itu

 Yadin hanyalah satu dari sekian anak-anak yang melibatkan diri dalam mencari rupiah di pasar. Masih banyak anak-anak di Indonesia yang terjun bekerja di pasar tradisional di Indonesia dan diberbagai sektor-sektor lain.

Yadin adalah jawaban dari kondisi faktor ekonomi keluarga dan faktor eksedus seperti yang dikatakan Masdiyah di atas.

Konflik sara yang terjadi di tahun akhir 90-an silam membuat ia dan keluarga meninggalkan kampung halaman di Tobelo dan eksedus ke Ternate. Untuk menyambung hidup, ia dan keluarga beraktifitas di pasar. Sang ayah berdagang sayur mayur sementara dia dan kakaknya menjadi penjual kantong kresek dan buru pikul. 

Sambil sekolah dan bekerja, ia lakukan aktivitas itu selama 10 tahun. Walau pada akhirnya salah satu dari itu ia korbankan, yakni putus sekolah.

Saat ini,Yadin masih berkativitas di pasar dengan menjadi pedagang sayur. Saat berkomunikasi via phone, Ia dengan tegas berpesan agar anak-anak kita kelak di beri pendidikan walau kondisi keuangan tak mampu sekalipun. Terutama dorongan yang dapat memotivasi anak-anak bermimpi sebesar-besarnya. (sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun