Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menanti Dinamika Solving Problem Sosial Ekonomi di Pilkada

8 September 2020   06:04 Diperbarui: 9 September 2020   09:12 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada (Sumber: thenorwichradical.com)

Hal itu dapat dilihat dari setiap perhelatan yang termaktub dalam konsep dan visi misi setiap kandidat. Sebagai contoh, Pilpres 2019 kemarin, yang mana sangat minim konsep pembaharuan dan jauh dari harapan perubahan ketimbang pilpres tahun 2014. 

Pada Pilpres 2014, konsep dan visi misi setiap kandidat terasa begitu segar dan menumbuhkan harapan akan keberlanjutan ekonomi ke depan. Semisal, Prabowo yang mengusung konsep ekonomi kerakyatan dan Jokowi yang mengusung kemajuan di segala bidang jalan bersamaan, mencapai kemandirian bangsa.

Namun pada tahun 2019, saya sendiri menggangap konsep yang ditampilkan terutama saat debat kandidat sangat membosankan. Tidak ada kebaharuan dan gagasan brilian dari kandidat yang bertarung karena cenderung saling sikut dan saling serang. 

Pada tingkat kedaerahan, tawaran konsep justru sangat minim. Sebab, visi misi setiap kandidat hanya janji politik yang bertujuan untuk memenangkan pertarungan.

Tidak ada perbedaan antara janji politik dan visi misi. Kata-kata semisal "Jika saya terpilih maka pendidikan gratis, kesehatan gratis, ekonomi tumbuh, lapangan pekerjaan bertambah, tidak ada pengguran, dan lain sebagainya" masih lekat kuat dan cenderung seragam antara kandidat satu dengan lainya. Hal yang menjadi pembeda mungkin hanya slogan kampanye.

Apakah kata kata seperti ini adalah bentuk penyelesaian atau tawaran solusi kondisi sosial ekonomi setiap daerah? 

Tentunya tidak. Sebab, itu adalah kata-kata yang mengandung "harapan" semata dan sudah dipakai berpuluh-puluh tahun lamanya. Bukan solusi yang diharapkan oleh masyarakat.

Padahal jika ditelaah lebih jauh, setiap kandidat yang bertarung adalah putra putri terbaik generasi bangsa. Mereka punya kapasitas pengetahuan yang mempuni, punya gelar yang tinggi dan latar belakang karir yang mentereng. Lantas kok bisa mereka tak berdaya menyelesaikan problem sosial kedaerahan?

Bagi saya, mereka punya pengetahuan tentang problem sosial ekonomi yang terjadi, tetapi tidak memiliki konsep solving problem yang kuat walaupun memiliki power ketika terpilih nanti. 

Sebagai contoh, kita ambil beberapa item krusial yang sering dieluh-eluhkan saat kampanye atau debat kandidat, yakni pendidikan, kesehatan ekonomi dan pembukaan lapangan pekerjaan. 

Perbaikan pendidikan selalu menjadi komoditi utama para kandidat. Setiap dari mereka akan memetahkan secara rinci apa saja kekurangan-kekurangan dalam dunia pendidikan berdasarkan data yang diperoleh. Dari situ kemudian diramu hingga melahirkam konsep yang tujuannya memperbaiki guna melahirkan generasi yang kompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun